Jumat, 14 Juli 2023

Merenungi Perkataan Hakim dalam Persidangan Haris-Fathia yang dianggap Seksis dan Misoginis dari sudut pandang mental health survivor.





 

Persidangan Haris-Fathia mengandung momen riuh dalam prosesnya. Mengutip berita dari idntimes, semua berawal dari Hakim di sidang tersebut yang meminta agar salah satu kuasa hukum bersuara lebih keras di persidangan. "Saudara jelas pertanyaannya, Saudara pakai mic lho, yang jelas! Suaranya kan seperti perempuan gitu lho, tolong keras sedikit," ujar Hakim (6/8/2023). Rupanya,kalimat yang dilontarkan tersebut diduga bernada seksis. Pernyataan itu menuai protes dan mendapat sorakan dari pengunjung sidang yang hadir.

"Saya keberatan jika majelis mengatakan demikian, mohon dicabut tidak mengatakan suara seperti perempuan," kata salah satu kuasa hukum terdakwa Haris dan Fatia. Haris Azhar juga langsung berdiri dan merespons perkataan tersebut. "Jangan gunakan perempuan untuk menggambarkan sesuatu yang lemah" kata Haris.

Potongan video yang beredar di sosmed mengabadikan momen saat hakim diduga melontarkan pernyataan yang diduga seksis dan misoginis, dalam video tersebut kita dapat mendengar sorakan pengunjung sidang yang tidak terima terhadap pernyataan hakim. Kurang lebih kata-kata seperti ini “Anda jangan merendahkan perempuan, saya perempuan, ibu kita semua perempuan”, bukan hanya dalam video. Pada kolom komentar pun, netizen menyayangkan sikap hakim yang berkata seperti itu dengan komentar kurang lebih seperti ini,

“Kenapa sih?”, “Gak tau aja suara emak2 kalo manggil anaknya, bisa kedengeran satu erte”, “Apa sih menyamakan suara kecil dengan perempuan!!” dan lain sebagainya.

Saya tersenyum saat membaca komentar pada postingan tersebut, yang banyak diisi oleh perempuan dengan nada berapi-api (dilihat dari tanda baca dan emotikonnya yang banyak menggunakan tanda seru dan api).

Sebagian komentar mempertanyakan mengapa suara kecil disamakan dengan sifat perempuan yang lemah? Ataupun menunjukkan ilustrasi kejadian tentang suara perempuan yang keras hingga dapat terdengar satu erte.

Baik, izinkan saya menuliskan hasil perenungan dan respon saya sebagai perempuan terhadap lontaran kata yang dianggap seksis dan misoginis. Tentu, pendapat saya ini diluar kasus dan latar belakang dari semua yang terlibat di persidangan. Saya hanya ingin mengajak teman-teman perempuan saya merenung bersama tentang seksis dan misoginis.

Menurut berbagai sumber, seksisme adalah diskriminasi berdasarkan gender atau pemikiran yang percaya bahwa suatu gender itu lebih superior dibandingkan gender lainnya (utamanya biasa dialami perempuan). Sedangkan, misogini adalah bentuk diskriminasi terhadap gender perempuan yang melibatkan kebencian.

Saya sangat tertarik untuk menguliti dua ungkapan, yang pertama ungkapan hakim tentang “Saudara jelas pertanyaannya, Saudara pakai mic lho, yang jelas! Suaranya kan seperti perempuan gitu lho, tolong keras sedikit” dan ungkapan "Jangan gunakan perempuan untuk menggambarkan sesuatu yang lemah".

Saat saya dulu masih menjadi simpatisan gerakan feminis, tentu saja kuping saya panas jika mendengar ungkapan-ungkapan yang seperti merendahkan perempuan. Jika saya ada dalam diri saya beberapa tahun lalu, saya pun akan bertanya mengapa suara perempuan digambarkan sebagai sesuatu yang lemah yang pantas ditindas dan tidak didengar suaranya. Sungguh menyesakkan perasaan saya sebagai perempuan.

Namun, respon saya sekarang berbeda setelah saya mendalami bidang kesehatan mental dan juga beberapa Teknik terapi penyembuhan luka psikis yang aplikasikan untuk diri saya sendiri. Saya menyadari betul bahwa besar kemungkinan pertanyaan-pertanyaan kenapa di atas berasal dari luka hati saya sendiri yang belum sembuh terutama luka karena kecewa terhadap sosok laki-laki entah itu yang berstatus keluarga maupun non-keluarga.

Mari saya ajak dalam percakapan dengan diri saya sendiri yang menyertakan perbedaan sudut pandang antara diri saya yang dulu dan yang sekarang. Berikut percakapannya:

“Hakim bilang suaranya kurang keras kayak perempuan, lalu direspon dengan “Jangan gunakan perempuan untuk menggambarkan sesuatu yang lemah!” Iya, kenapa sih perempuan seringkali digambarkan sebagai pihak yang lemah?”

“Sebenarnya, tidak ada masalah apa-apa dengan perempuan dan kata lemah, adapun keterkaitan suara yang kecil (tidak terdengar) dianggap sebagai kata yang diskriminatif terhadap perempuan, ini hanyalah persoal persepsi dari diri kita sendiri. Jadi, bukan kenapanya, tapi ada apa dalam diri saya, kok dibilang lemah aja sewot? Apa jangan-jangan ternyata ada luka terhadap laik-laki yang belum sembuh? Ataukah kita sebutuh itu akan validasi tentang kuatnya perempuan?”

“Kan saya tanyanya kenapa, mbok ya dijawab karena… gitu lhoo..emangnya kenapa kalo suara kurang keras dibilang kayak perempuan? Emangnya perempuan harus selalu lemah?”

“Gini… gini… Hemat saya, jawabannya adalah sesimpel: Karena perempuan itu engga mau dibilang lemah dan merasa kuat atau bahkan lebih kuat dari laki-laki. Padahal jika memang kuat, sebenarnya kita juga kuat terhadap perkataan apapun, tidak perlu memikirkan atau memasukan kata-kata tersebut ke dalam hati. Toh, seribu kata lemah yang disematkan pada perempuan tidak akan ada yang bisa mengubah satu kenyataan bahwa perempuan memiliki kekuatan lebih untuk dapat melahirkan bayi manusia ke dunia ini yang menandakan perempuan adalah makhluk yang kuat. Pun jika perempuan merasa lebih kuat, maka ini termasuk dalam seksisme terhadap laki-laki, hayo lo? Bingung kan hihi ”

“Tapi emang suara perempuan itu lemah?”

“Hmmm.. mungkin bukan lemah dalam arti sebenarnya, maksudnya dalam suara biasanya sosok perempuan memang lemah lembut bukan? Bukan lemah loh ya alias gak punya kekuatan. Justru salah satu kelebihan perempuan ada pada sifat kelemah-lembutannya dan itulah kekuatan dari perempuan. Kebayang gak kalo di rumah kita ada ibu yang setiap harinya pasang muka sangar tanpa senyum, bersuara keras dan suka berteriak. Akankah hidup kita tenang? Akankah kita punya tempat teraman dan ternyaman saat terkena badai kehidupan di luar rumah?”

“Tapi kan engga semua ibu lemah lembut, bahkan ada yang kasar dan garang”

“Nah, itu lain lagi, sepengalamanku menjadi asisten terapis luka psikis biasanya ibu atau perempuan yang seperti itu memiliki luka masa lalu yang belum selesai, karena by defaultnya perempuan memanglah lemah-lembut”

“Berarti kalau perempuan lemah lembut by default, apakah laki-laki keras dan garang by default?”

“Bukan pulak berarti kasar dan garang bisa disematkan pada laki-laki, ini bab lain lagi pembahasannya. Kita kan lagi bahas bab perempuan. Tapi kalau mau singkatnya, ya tentu saja mau laki-laki atau perempuan pada dasarnya baik dan kepribadian dan karakter garang dan sebagainya bukan by default, banyak faktor penyebab dari terbentuknya suatu karakter pada manusia”

“Hmm.. Kamu sekarang kenapa jadi engga benci sama pernyataan yang seksis, bukannya dulu kamu benci sekali dengan kata-kata yang seksis dan juga perilaku misoginis?”

“Iya, itu dulu. Saat aku bermental korban karena selama belasan tahun menjadi korban pelecehan. Dan saat ini, setelah melewati berbagai terapi untuk memaafkan dan berdamai dengan luka masa lalu, perasaan benci itu pun luntur dan itu lebih menenangkan sudut pandangku dalam memandang sesuatu. Bisa dibilang, logikaku lebih jalan ketimbang hanya mengdalkan sisi emosionalku saja”

“Lalu, apa pesanmu padaku?”

Pesanku padamu adalah jika terlihat ada yang salah dengan dunia. Langkah pertama bukanlah menyalahkan keadaan dan lingkungan, namun terima dulu apa adanya, tenangkan dirimu, barulah kamu bisa merespon keadaan dengan lebih bijak. Jangan sampai lukamu diatas masa lalu membuatmu buta akan indahnya masa depan yang masih bisa ditata. Meski kamu korban di masa lalu, di masa ini kamu punya kendali atas dirimu. Berhentilah merasa direndahkan, dijatuhkan, ingin dijunjung, ingin dimengerti. Mulailah, memahami dirimu agar tak lagi meminta validasi dari lainnya. Kamu boleh jadi korban tapi jangan pelihara mental korban. Kamu itu cukup.

Ingat selalu ini, ketika kita mendengar perkataan yang melukai hati, maka interopeksilah diri mungkin saja ada luka dari masa lalu yang belum kita damaikan saat ini, ataupun mungkin saja ada kekosongan figur ayah yang belum terisi dalam jiwa ini, sehingga memunculkan sikap sensi dan  kurang percaya diri sampai haus akan validasi.

Sekian saja renunganku hari ini, jika ada yang pas semoga mengisi kekosonganmu, pun bila tidak pas semoga tidak membuat kupingmu panas.

Salam sehat lahir batin hehehe


Tidak ada komentar:

Posting Komentar