^^

Terimakasih atas kunjungannya^^ Semoga harimu selalu dipenuhi dengan kesenangan dan keberkahan. Sudahkah anda bersyukur untuk hari ini??

Ads Here

Minggu, 03 Januari 2021

Ada hal lain yang penting diperhatikan sebelum menuntut anak bisa membaca simbol aksara.

Halo! Selamat datang di #RandomMidnightSW. 

Kali ini aku akan cerita tentang  "Kemampuan Membaca" pada anak-anak.
Jadi gini, ceritanya aku menemukan beberapa/sebagian besar anak usia SD (kelas 1-3) mereka dianggap bisa 'membaca' karena dapat membacakan buku cerita yang ada namun, ketika aku meminta untuk menceritakan kembali atau menanyakan terkait cerita yg ada di buku tersebut, anak2 menggeleng tidak tahu dan tidak mengerti apa yg mereka baca. 

Aku sedih melihatnya, namun bukan berarti kita perlu menghardik anak, tetap apresiasi smbil membacakan ulang crita tersebut, lalu kembali di tanyakan apa ya isi cerita tadi? Kali ini, mreka pnya jwaban.


Perlu kita sepakati bersama, bahwa kemampuan membaca adalah kemampuan anak mengkorelasikan huruf dengan kata dan mengetahui makna dan informasi yang disampaikan bukan hanya sekedar mampu "Membunyikan Huruf" menjadi suatu kalimat tanpa tahu maknanya.

Okay, jadi ternyata kebanyakan anak-anak hanya pd tahap "Membunyikan huruf" belum pada tahap "Membaca". Lalu, mmangnya kenapa kalau anak hanya sampai pada kmampuan mmbunyikan huruf bukan smpai mmbaca? Coba saya uraikan ya. Slama sekolah, kita akan banyak menemui literatur2 yang membutuhkan kemampuan kita dlm mmbaca dan menangkap informasi baik melalui buku ataupun yang disampaikan oleh guru, etc?

So, jika mereka hanya sampai pada tahap mampu "membunyikan huruf" tanpa memahami maknanya, sangat memungkinkan anak akan kesulitan mengikuti pembelajaran di sekolah karena anak tidak dapat mengerti, informasi apa yang dia dapat dari membaca, instruksi apa yang dimaksud oleh guru. Ketika anak merasa dirinya tidak mengerti, maka besar kmungkinan pula anak akan mengalami keterpaksaan membaca literatur sekolah meski dirinya tak paham, karena tak paham maka nilai akademisnya pun biasanya buruk, karena nilai akademis yg buruk, anak mungkin Skali mndapat label "bodoh", akhirnya dia tidak suka kegiatan membaca/belajar karena dia tidak paham dan merasa tidak mendapatkan manfaat apapun dari kegiatan tersebut.

Hingga akhirnya, mereka tumbuh sbagai orang yg percaya bahwa  dirinya "bodoh" karena tdk dpt memahami pelajaran. Puncaknya, mereka menjadi tidak suka belajar, karena tidak paham dan belajar adalah kegiatan yg membosankan skaligus membingungkan bagi mereka.  Kalau sudah begitu, bagaimana cara kita menanamkan kegemaran belajar pada anak untuk terus belajar sepanjang hayatnya?.
(Lho tadi kan bahas membaca, kok skarang jdinya belajar sih? Ya, suka-suka dong wkwk).
Jd gini gais, salah satu kunci seseorang dapat memahami dunia adalah dgn membaca (bukan cuma membunyikan huruf, tapi juga ttg penangkapan

Makna fenomena/kjadian yg terjadi di sekitarnya ataupun informasi yg disampaikan kepada dirinya. Anak2 yg mmiliki kmmpuan membaca (paham makna kata) akan lebih mudah menerima dan menyerap informasi yang disampaikan kepadanya dan itu berkolerasi positif terhadap kemampuan dirinya dalam belajar. (Learn is skill, thats' need practice all the time)  mnurut KBBI, belajar adalah suatu usah untuk memperoleh kepandaian/ilmu. Bayangkan, bagaimana mungkin anak akan gemar belajar, ketika dia kbingungan/ ksulitan mmahami proses belajar (mndapatkan ilmu)? Bagaimana mungkin anak akan tertarik untuk belajar, jika yg mreka rasakan adalah kebosanan dan ktidakberdayaan? Prasaan tsb tntu bukan hal menyenangkan

Dan sberapa kuat sih kita bertahan melakukan hal yg tdk menyenangkan terus menerus? Trus dmn nih letak salahnya? Yakni ada pada pemahaman umum ttg 'blajar' dan mmbaca  itu sendiri. Sringkali, kgiatan belajar dipahami sebagai kgiatan serius yg mengharuskan anak untuk bergelut dengan angka dan huruf tanpa boleh bermain-main. Iya gak?.
Mmbaca biasanya dipahami sbg kmampuan anak 'membaca' lebih tepatnya mmbunyikan huruf mnjadi kalimat, tanpa peduli mereka paham/tidak terhadap apa yg dbacanya, mmbaca hnya dkaitkan dgn plajaran dan dtujukan utk memperoleh nilai ujian yg bgus. Ckup bisa itu, anak dianggap sudah mampu membaca, kita sampai lupa esensi membaca adalah "Pemahaman" "Melek" makannya membaca adalah salah satu bentuk "Literasi". 
Trus, proses apa dong yg perlu diperbaiki supaya anak bisa membaca "paham"?

Nah, ini yg menarik. Jadi gini, kita tau kan klo setiap hal ada prosesnya, mau masak tempe goreng misalnya, ada proses di potong dulu tempenya, di masukan bumbu supaya enak, lalu baru di goreng smpai matang, lalu ditiriskan. Dan akhirnya kita makan (alamat lapar dini hari ini mah).

Cba perhatikan proses goreng tempe tadi, prosesnya berisi
Pra-penggorengan, penggorengan, dan Penirisan (pasca penggorengan).

Bayangin, kalo tempe langsung digoreng tanpa dipotong atau dibumbui, apa jadinya? Enak gak? Bisa dimakan gak? Gorengnya rata gak? Ada rasanya gak? Atau tempenya bisa jadi matang, tapi hanya permukaan dan kmungkinan besar rasanya hambar.

(Sebuah analogi tempe goreng, uhuy~~)

Ini sama persis dengan proses membaca/proses belajar lainnya. Fenomena yg terjadi secara umum di sekitar kita adalah, anak langsung dicekoki kegiatan 'membaca' huruf-huruf, tanpa memperhatikan kesiapan diri anak (membaca secara teknis). Kita lupa bahwa ada proses penting sebelum anak belajar membaca, yakni proses 'pra-membaca'. Eh ada ya? Ya adalah Bambang, goreng tempe aja ada pra-penggorengannga dulu, ya masa didik anak ujug2 :", anak juga manusia lho (lha kok malah jd ngomel, oke lanjut!). Apa aja sih proses pra-membaca? Yaitu proses stimulasi yg diberikan kepada anak sbgai peletakan dasar anak memahami suatu bacaan. Salah satu aktivitas pra-membaca adalah berbincang, membacakan buku

Cerita, dan lain sebagainya. 

(Hutang pembahasan nih, pengen nerusin ini tapi tugas lain sudah melambai, daaah... Ditinggal dulu, kalo berminat berdiskusi ttg tmbuh kembang anak, I'm welcome, kita ngobrol bareng dan sama2 belajar ttg ini)

Baca versi lengkap di blogkudewek.blogspot.com (soon)
 
Sampai jumpa di random midnight SW lainnya.

(Ku post dulu saja, semoga bisa dimengerti) 

Jumat, 18 Desember 2020

Mari Obrolkan Pernikahan tanpa Glorifikasi Berlebihan

Pernikahan selalu asik dalam sebuah pembicaraan, dari sudut manapun. Karena tidak semua orang telah berada pada fase ini. Dalam obrolan kaum muda biasanya, pernikahan dijadikan sebuah hal yang sangat luar biasa dan pencapaian yang tinggi.

Padahal pernikahan itu kan biasa saja, hanya sedikit berbeda karena ada orang lain yang hadir dalam kehidupan kita. Kehadiran tersebut tentunya membawa banyak perubahan baik yang sifatnya terprediksi maupun yang tidak. 

Babak baru kehidupan memang selalu membawa tantangan yang tak terelakkan. Oleh karenanya, sebelum menginjak babak baru tersebut idealnya seseorang mencari tahu, baik mencari pengetahuan dari berbagai sumber terpercaya dan pengalaman seseorang yang telah menikah.

Bagi seseorang yang telah menikah pasti mengetahui, bahwa pernikahan bukan hanya senang-senang saja namun juga bagaimana caranya hidup dengan orang lain dalam waktu yang sangat lama dengan karakter individu yang berbeda sambil berusaha memecahkan konflik bersama.

Sayangnya, pernikahan yang digaungkan di sosial media biasanya hanya berisi senang-senang, jalan-jalan, romantis-romantisan, dan hal uwu lainnya. Bukan berarti hal-hal yang menyenangkan tadi tidak terjadi dalam pernikahan, namun yang perlu diingat adalah tidak setiap hari hal tersebut terjadi juga bukan setiap saat pernikahan isinya hanya keuwuan saja.

Wah wah wah wah saya kok terlihat pesimis sekalian memandang pernikahan? Bukan sayang, saya hanya ingin ketika berbicara tentang pernikahan harus disertai dengan hal-hal logis yang mewarnai sebuah bahtera rumah tangga bukan hanya pemanisnya saja.

Memiliki teman hidup adalah dambaan semua orang, tentu saja. Nah, untuk dapat memiliki teman hidup yang tepat, tidak hanya dengan cara menerima lamaran saja namun, perlu diperhatikan banyak hal agar kita tidak salah memilih pasangan hidup. Betapa menyakitkan ketika seseorang menghabiskan hidup dengan orang yang salah.

Eeiittss... Pasangan hidup yang tepat adalah bukan tentang kesempurnaan rupa ataupun kepribadian. Namun tentang bagaimana dua individu saling menerima kelebihan dan kekurangan serta saling mendukung satu sama lain menuju keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah, wa mubaadalah. Manusia tidak ada yang sempurna itu adalah paten. Begitupun pasangan tidak ada pasangan yang sempurna yang sama sekali tidak memiliki konflik, tidak sama sekali memiliki perbedaan, ataupun masalah lainnya. 

Pasangan yang tepat adalah pasangan yang memiliki prinsip kesalingan satu sama lain dan saling berusaha untuk menjaga komitmen juga belajar menuju kehidupan yang lebih baik sedikit demi sedikit setiap harinya.

Setiap orang memiliki kriteria nya sendiri, maka definisi Pasangan yang tepat tentulah beragam. 
Disini Saya mau berbagi tentang apa saja ya hal-hal yang yang perlu diperhatikan kan sebelum mengambil keputusan untuk menuju sebuah pernikahan.

#1 Komitmen setia pada satu orang

Hal pertama yang mesti disadari adalah kita akan hidup dengan orang lain pada waktu yang lama.  Nah, setiap orang memiliki kepribadian yang unik. Kita siap gak sih buat menjalin relasi jangka panjang tersebut dengan satu orang yang sama dengan karakter yang berbeda. Apa yang harus dilakukan ketika terjadi perbedaan? Bisakah sama-sama membangun relasi yang saling membahagiakan satu dengan yang lain? Kalau terjadi selisih paham dan kesulitan berkomunikasi, bisa melewati tidak ya?. Komitmen setia harus dimiliki oleh keduanya karena, sebuah relasi adalah tanggung jawab bersama yang layak diperjuangkan dengan sekuat tenaga oleh keduanya.

#2 Menghadapi kekurangan pasangan

Hidup bersama orang lain yang berbeda tentunya akan membawa perubahan pada hidup kita sendiri. Oleh karena itu, sebaiknya kita telah mengetahui sedikitnya kekurangan pasangan yang terlihat seperti apakah dia merokok atau tidak, pemabuk atau bukan, tim bubur diaduk atau langsung dimakan?. Dari kekurangan kekurangan yang dimiliki oleh calon pasangan perlu dipilah mana nih yang bisa kita toleransi atau tidak ditoleransi sama sekali. Relasi yang kuat dibangun dari dua individu yang saling menerima. Penerimaan  

#3 Emosi dan Komunikasi
#4 Jalur Karir
#5 Finansial dan Literasi Finansial
#6 Tempat Tinggal
#7 Pembagian Pekerjaan Rumah Tangga
#8 Penerimaan Antar Keluarga
#9 Konsekuensi Lain Penikahan

(Maaf belum selesai tapi sudah setor)

Minggu, 13 Desember 2020

Anak adalah Polisi Moral terbaik



*Polisi moral terbaik adalah anak-anak (to the point pisan wkwk, gaada prolog apa, okok)*

Jadi gini, seperti orang pada umumnya, aku membiasakan anak2 buat makan dan minum sambil duduk. Lalu, suatu hari satu anak mendapatiku sedang makan es krim tapi berdiri, lalu dia menegurku, seperti aku menegur mereka. Dia berkata "Tante ya, kalo makan berdiri atau duduk ya?" 

Sontak aku langsung ingat persis seperti apa yang aku katakan pada mereka, dan mengakui "Oh iya,  maaf ya Tante ya  makannya sambil berdiri ya? Sekarang Tante ya duduk ya. Makasih loh udah diingatkan" jawabku. Dia pun tersenyum.

Trus apa hubungannya dengan anak sebagai polisi moral terbaik?

See... Anak2 menerima ajaran seseorang dengan murni dan tanpa ditambah s&k, klo kita sudah ajarkan dan contohkan minum dan makan itu duduk, maka mereka akan selalu mengingat nilai itu tanpa syarat, meski kdg anak2 lupa melakukannya Namun, anak akan mengingatnya. Anak usia 0-8 tahun umumnya memiliki nilai diri yg kuat, gak ada nego, A ya A, konsisten, gak boleh nawar.

Maksudnya gimana?
Jadi ktika diajarkan makan dan minum itu duduk, ya harus duduk gak bisa di tawar, misal sambil nyambi ngapain gitu jadinya makan sambil berdiri. Beda dengan org dewasa yg bisa memaklumi pelanggaran2 pada sbuah aturan. Makannya, kalo misalkan kita pernah ngingetin anak sesuatu, lalu nnti suatu saat peringatan itu balik ke kita. Kita ajarkan untuk menerima nasehat itu dgn cara mnerima masukannyaDan langsung memperbaiki kesalahan yang kita lakukan, itu bentuk pengajaran melalui tindakan.

Gausah kita tambah "Apa sih anak kecil, klo org gede boleh" "Kan aku lagi ngasih makan ikan juga, jadi makannya sambil berdiri" cukup dengar dan terima nasehatnya, itu bentuk menghargai dia. Dan apa yg didapat ktika kita menghargai anak? Dia akan mampu menghargai org lain juga, dia akan mendengar nasehat juga tidak mudah tersinggung ketika ada yg mengingatkan dirinya.
Anak perlu contoh gais bukan kritikus.

"Lah, trus kapan dong anak akan belajar memaklumi kesalahan?"

Pada dasarnya, semakin anak berkembang usianya, otaknya akan berkembang pula, yang tadinya belajar melalui apa yang dia lihat dan dengar (tahap operasional concrete), semakin bertambah dia mampu belajar ttg apa yg tdk dapat dilihat dan didengar (operation formal). Nnti anak akan memahami bahwa suatu aturan terkadang memiliki fleksibilitas dan tingkat kompromi. Di masa itu, anak akan mengerti bahwa terkadang aturan tdk selamanya baku, bisa berubah (Bahasanya masih ribet ya? :( )

Itulah pentingnya mendidik anak sesuai usia perkembangannya, biar pas. Knpa? Biar anak memiliki karakter kuat dan stabilitas diri yang baik. Biar anak tau aturan dan bagaimana bersikap di lingkungan masyarakat. 

Ku kasih cntoh lg ya:
Jd suatu hari, aku sdang bermain dngan ponakan, lalu tiba-tiba turun hujan, auto kan gak mikir pake sendal siapa buat angkatin jemuran. 
Nah, ktika aku mmakai sendal orang lain (meski milik kakak) dia brkomentar "Kok, Tante ya pake sendal orang lain? Kan punya sendal sendiri?"

Aku pun jawab "Oh iya ya, harusnya tadi pakai sendal sendiri :(, masalahnya tadi buru-buru jadi gk liat pake sendal pnya siapa :(  Apa Tante ya perlu minta maaf ke om ___?" Anak diam sebentar dan menjawab "Iya, bilang ya hujannya udah duluan sih", akhirnya aku minta maaf ke kakak (yg tentu saja mmaafkan wkwk) mendapatkan jawaban itu aku bersyukur, artinya nilai kepemilikan sudah tertanam dan dia tidak akan melanggarnya kcuali ada hal mendesak. 

Masak sih anak bgitu? Di aku engga ah, dia gak tau aturan. Eits.. tunggu dulu, sbelumnya dibiasakan gak? Dicontohkan gak?

Perilaku anak adalah cerminan lingkungan terdekatnya, klo lingkungannya kondusif, maka kepribadian anak pun akan kondusif (kcuali ada kbutuhan khusus, ini beda lagi ya). 

Perilaku anak adalah cerminan lingkungan terdekatnya, klo lingkungannya kondusif, maka kepribadian anak pun akan kondusif (kcuali ada kbutuhan khusus, ini beda lagi ya). 

Anak adalah pengingat kuat, peniru ulung, dan petualang sejati.

Tindakan yang ditampilkan dalam keseharian, akan menjadi pengajaran bagi anak untuk bersikap dalam kesehariannya pula. Pernah dengar kata filsuf "Suara anak = suara Tuhan" karena ia lahir dari kemurnian hati seorang manusia.

Kehati-hatian dalam bersikap adalah Ajaran dasar. Kalau anak terbiasa hati-hati, mereka tdk akan smena2 pada diri maupun makhluk lainnya. Punya cerita yg ingin didiskusikan?

(Trus, klo anaknya udh biasa gak taat aturan, gak dikenalin ini itu dsb gimana? Butuh bahasan utuh tersendiri supaya komprehensif) 
Sekian caprukanku.


#randommidnightSW today. 
#HanyaTayangTengahMalam
#SepenggalKisah

Senin, 07 Desember 2020

Jadi orang sok sibuk? Apa rasanya? (Catatan 12 Juli 2020)

Halo Bders, tak terasa aku sudah ada di tingkat akhir perkuliahan. Rasanya segala urusan saat ini berada di puncaknya. Jadwal kuliah yang tetap padat, diselingi KKN yang kian merapat juga dan lain tugas akhir yang semakin dekat.

Selain itu, amanah di organisasi yang masih dimandatkan kepadaku, menjadi pelengkap kesibukan di akhir perkuliahan.
Sudah begitu, banyak komunitas yang sangat menarik hati untuk diikuti kegiatannya.

Senin hingga Jumat, jadwal kuliah Sabtu Minggu jadwal webinar. Tak ketinggalan menjalankan hobi mengikuti kuis dan giveaway di sela-sela waktu. Bermain bersama anak-anak dekat rumah juga jalan ninjaku yang lainnya.

Kadang aku bertanya kembali pada diri, kesibukanku ini sudah ada di jalan yang benar belum ya? Prioritas yang aku jalankan sudah sesuai belum ya?

Pengaturan waktu yang terlihat baik, meski kenyataannya tak sebaik rencana. Tugas belum selesai, sudah ikut giveaway, buku belum selesai dibaca, sudah bolak-balik buka WA. 
KKN belum kelar, pikiran sudah bercabang terkait keberlanjutan proker yang harus kelar juga.

Menemani anak-anak untuk belajar seraya bermain, sangat berkurang. Biasanya, setiap hari pukul 19.30-21.30 anak-anak rutin main di rumahku. Untuk membaca buku, mengerjakan PR bersama, bercerita, diskusi ringan juga berdoa untuk keselamatan. Namun kini, aku lebih banyak melakukan zoom-zooman juga gmeetan hingga malam. Rutinan jadi gak kebagian :(.

Aku tidak tahu, poin apa yang ingin aku sampaikan pada postingan kali ini. Kalau dirunut dari judul, Aku seharusnya bercerita tentang perasaan. Okay, perasaanku setiap harinya sedikit kacau. Berasa banyak sekali tugas yang harus dikerjakan, namun semangatnya kian hari semakin padam. Dulu ku kerjakan tugas dengan prinsip do the best. Namun sekarang, prinsipnya yang penting selesai :(. Sedih sih, ngerjain tugas selalu terpacu deadline. Sekalinya rajin, ada yang error. Pembelajaran daring ini membuatku terlalu nyaman. Nyaman untuk rebahan, nyaman untuk mendengarkan, nyaman untuk mengapresiasi tontonan. Namun, perlu usaha lebih untuk memulai mengerjakan tugas yang memerlukan keaktifan. Rasanya menyenangkan sekaligus membingungkan. Senang karena waktunya fleksibel, bingung harus mulai dari mana dulu tugasnya. Meski akhirnya selesai, jarang sekali yang memberikan sensasi seperti aku memenangkan giveaway. 

Meski dengan segala campur aduk perasaan terhadap berbagai kesibukan, mau gak mau, kita semua harus tetap bertahan demi masa depan. Memangnya apalagi pilihan selain bertahan dan berjuang?

Dibalik itu, banyak juga kebaikan yang dirasakan. Meski kuliah dilakukan sendiri di rumah, nyatanya teman-teman selalu ada ketika timbul permasalahan.

Mari akhiri tulisan ini dengan nyanyi bersama lagu hits Bondan Prakoso berjudul Ya sudahlah. Yuk sama-sama yuk!

Ketika mimpimu yang begitu indah
Tak pernah terwujud, ya sudahlah
Saat kau berlari mengejar anganmu
Dan tak pernah sampai, ya sudahlah, hmm

Apapun yang terjadi
Ku 'kan selalu ada untukmu
Janganlah kau bersedih
'Cause everything's gonna be okay


Thank you..

Jumat, 04 Desember 2020

Filosofi Tanjakan Curam: Hati-hati dan Sabar dalam Masalah


[Ketika Menemui Jalan Curam] 

Setiap kali bertemu jalan curam, aku selalu berpikir "Hmmm.. ini nnti turunnya gmna dah?" "Duh... Takut jatuh, jalannya keliatan sangat licin" "Alah siah masih jauh bat". Hal ini membuatku berhenti sejenak, menimbang-nimbang apakah lanjut atau tidak, apakah mencari jalan baru yang lebih landai namun lama? Lalu kulihat orang lain, menaiki tanjakan curam itu dengan perlahan dan hati-hati. Lantas, Aku memutuskan "Okay, let's do it".

 Terkadang ada banyak hal sulit yang sebenarnya mampu kita lewati, namun sayangnya rasa takut kita kadang lebih dulu menghantui, berpikir jalan pulang namun lupa berpikir bagaimana bertahan dan melewati tanjakan curam itu. Ya, tak selamanya tanjakan curam itu aman, makannya kita mesti hati-hati dan sabar dalam setiap langkahnya, kalau jatuh? Itu menyakitkan, tapi hei.. kau tidak sendirian, akan ada yang menolongmu.   So? Apa pesannya? Jadi,, kalau menemui masalah sulit, jangan menghindar, hadapi saja yang penting tujuan jelas.


Adapun rasa takut, biarlah tetap ada. Rasa takut, kadang bisa menjadi teman agar kita lbih hati-hati dan mempersiapkan diri akan kemungkinan terburuk. Gak kok, gak perlu diusir rasa takutnya, jadiin aja temen. Karena rasa tidak dapat diatur, tapi tindakan ketika rasa tersebut muncul, itu yg bisa diatur. 

Adapun rintangan, pasti ada makannya perlu hati-hati dan sabar agar tak terperosok. Kalaupun sudah hati-hati dan sabar namun tetap jatuh, ya namanya ujian, maka jangan lupa bangkit lagi dan gausah sungkan minta tolong, kita makhluk sosial. 

Kalo kata Tokped, mulai aja dulu.

Dan yang paling penting adalah kira punya ALLAH SWT yang akan selalu siap dan bisa diandalkan untuk dimintai pertolongan bagi hambaNya yang berusaha maksimal dan berserah diri padaNya


Sabtu, 28 November 2020

Nikah Muda dan Nikah Anak itu Beda Tolong Perhatikan!

Perkawinan anak adalah perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang berusia dibawah di bawah 19 tahun, baik salah satu diantaranya maupun keduanya. Sedangkan perkawinan usia muda adalah perkawinan yang dilakukan ketika seseorang telah mencapai batas minimal perkawinan yakni 19 tahun. 

Indonesia termasuk dalam 10 besar negara dengan angka perkawinan anak tertinggi di dunia. Menurut KPPA Indonesia berada pada urutan ke- di dunia dan nomor 2 di Asia tenggara.

Badan pusat statistik pada tahun 2018 menunjukkan, 1 dari 9 anak perempuan telah menikah di usia anak.
Meski pada pada 10 tahun terakhir terjadi penurunan sebanyak 3,5%, angka perkawinan anak masih tergolong tinggi.

Tingginya angka perkawinan anak di Indonesia, didukung beberapa faktor, mulai dari ketimpangan ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan, atau interpretasi dari suatu budaya yang disalah artikan.

Perkawinan anak berdampak negatif pada kesehatan, pendidikan, dan ekonomi anak di masa depan.
Anak, secara fisik dan mental, belum siap berumah tangga rentan menjadi korban kekerasan.

Perkawinan anak juga mengakibatkan, putusnya pendidikan, terutama bagi seorang perempuan, hal ini menyebabkan kesulitan mencari pekerjaan karena pendidikan yang rendah, juga berdampak pada ketahanan ekonomi keluarga.

Masa anak seharusnya dihabiskan untuk mengembangkan diri dan membangun jati diri agar menjadi individu yang berkarakter dan siap membangun bangsa. Beban rumah tangga seharusnya diemban oleh seseorang yang telah dewasa dan matang baik secara fisik maupun emosional. 

Cegah perkawinan anak dimulai dari Membangun komunikasi positif dan melibatkan anak dalam pengambilan keputusan di keluarga.

Jadi, jika ada seseorang yang menikah pada usia 19-25 tahun itu masih tergolong pernikahan muda dan bila menikah di bawah usia 19 tahun, itu tergolong pernikahan anak. Batas pernikahan muda tentu tidak sama antara satu daerah dengan yang lainnya, hal ini bergantung pada budaya setempat. Namun, yang ditekankan disini adalah bahwa pernikahan anak tidak sama dengan pernikahan muda.

Mendukung Perkawinan Anak sama dengan menyengsarakan masa depannya. Kawin anak bukan solusi pengurangan beban ekonomi, kawin anak bukan solusi dari rasa kesepian, kawin anak bukan solusi menghindarkan perzinahan. Pembiasaan komunikasi positif dengan anak, menjaganya dari pergaulan yang tidak sehat. Dukung anak berteman, bukan ke pelaminan. 

#DukungPendidikannya #TemaniMengertiMereka #KawinAnakBukanSolusi #StopPerkawinanAnak



Rabu, 25 November 2020

Bergabung di Grup Curhatan Remaja? Apa Rasanya?

Di suatu malam yang dingin, ketika scrolling beranda FB, saya menemukan saran grup yang menarik karena berisi cerita-cerita terkait permasalahan yang dialami oleh para remaja Indonesia. Sebut saja grup Remaja Indonesia (bukan nama sebenarnya).

Maka, tertariklah saya untuk bergabung dalam grup tersebut. Sebelum bergabung, ada pertanyaan terkait motif kita bergabung dalam grup tersebut. Saya mengisi dengan alasan ingin mengetahui permasalahan yang ada di usia Remaja.
Akhirnya, setelah beberapa hari akun saya diterima dan tergabung dalam grup Remaja Indonesia.

Sejak saat itu, muncul notifikasi pemberitahuan postingan baru dari grup tersebut. Cerita yang mereka posting di grup amat beragam. Mulai dari indahnya Berkasih sampai sakitnya dikhianati. Dari motivasi hingga demotivasi. Dari yang penuh semangat hingga yang putus asa semua ada dalam grup ini.

Kebanyakan remaja yang menjadi member, menjadikan grup tersebut untuk menceritakan permasalahan yang tidak dapat mereka ceritakan dengan lingkungan terdekatnya. 

Bahkan, tak jarang mereka menceritakan permasalahan terkait keluarga yang mereka miliki.

Saya menangkap, cerita yang mereka utarakan di grup banyak tentang permasalahan-permasalahan yang memang terjadi dan sangat mungkin terjadi di masa remaja.

Masalah-masalah yang banyak dibahas adalah hubungan tidak harmonis dalam  keluarga, tidak diterima di lingkungan masyarakat, bully, menghadapi standar kecantikan yang tak masuk akal, penerimaan diri yang belum sepenuhnya,  percintaan bahkan penyimpangan perilaku yang berkaitan dengan psikologi. 

Para komentator yang berusia lebih dewasa umumnya menerima apapun yang mereka ceritakan dan memberi saran yang menenangkan, adapun sebagian yang lain menanggapi curhatan tersebut dengan sistem adu nasib. Yang mana, bukannya mendengarkan dan menyimak haik-baik cerita yang dituliskan, namun malah curhat dirinya sendiri yang merasa lebih buruk dari pengirim. Wajar sih, grup multiusia, multijawaban.

Para orang dewasa yang ada di grup ini, mungkin termasuk saya sendiri lebih sering berkomentar menjadi penengah agar sang pencerita tidak merasa terlalu bersalah akan dirinya yang sudah bercerita, juga tanpa merendahkan komentator lainnya.

Dinamika kehidupan remaja yang mereka sampaikan di grup membuat saya tersadar, masa remaja terkadang menjadi masa tersulit yang harus dihadapi oleh setiap orang di masa pertumbuhannya.
Hal sulit banyak terjadi, seperti Pengambilan keputusan yang masih sangat dipengaruhi keluarga, kebingungan mereka tentang status apakah anak2 atau sudah dewasa, kecemasan atas perubahan yang terjadi dalam diri baik bersifat fisik maupun mental dan lain sebagainya.

Hal-hal tersebut tak lain adalah sebuah proses menuju pendewasaan. Dukungan moral dari orang yang lebih dewasa sangat berpengaruh terhadap perkembangan kedewasaan mereka. Remaja yang memiliki hubungan positif tentang dirinya dan keluarga, cenderung lebih dapat menjalani masa remajanya dengan baik dan kuat menghadapi tantangan yang hadir.

Sayangnya, tak semua remaja mendapatkan perlakuan yang supportif dari lingkungannya, sekalipun dari keluarganya sendiri. Bahkan, ada yang tidak tahan dengan kekacauan yang hadir dalam relasi keluarga mereka.
Sungguh rumit, di satu sisi mereka punya banyak masalah, sisi lainnya terkadang ruang cerita pun mereka tidak punya.

Teman menjadi obat terbaik bagi mereka yang kehilangan sosok keluarga dalam hidupnya. Namun, apakah semua remaja memiliki teman yang baik? Atau temannya merupakan kumpulan remaja dari keluarga yang tidak harmonis? Jika ya, maka mereka mungkin akan saling mengerti dan memiliki ikatan pertemanan yang erat, namun tanpa pendampingan yang cukup, ada kemungkinan juga mereka melakukan perilaku menyimpang.

Oleh karena itu, kita sebagai manusia yang dianggap telah dewasa secara usia, baiknya mampu menjadi teman baik bagi mereka. Adik, ponakan, saudara, teman atau semuanya. Jadilah ramah terhadap pertumbuhan anak. 

Akhirnya, aku mungkin merasa betah di grup ini, karena belajar menjadi kakak yang baik untuk adik2 di sosial media. Meski responnya tak selalu mengenakan, it's ok, just let it be. Kelak ketika mereka dewasa dan menyadari mereka telah mampu melewati semua masalah masa remaja, semoga aku melihat ukiran senyum dari wajah mereka.

Maka, adanya grup sejenis ini menurutku bagus, untuk menjadi ruang aman bercerita tanpa penghakiman. Semoga kedepannya, akan lebih banyak grup yang dapat menciptakan ruang cerita antar generasi lainnya, agar kita saling mengerti dan dapat menjalin relasi yang saling kasih satu dengan lainnya.

Tetap semangat untuk para remaja yang dilanda banyak permasalahan, jalani dan jangan lupa untuk selalu belajar dari pengalaman yang kau temukan. Aku disini, menantikan ceritamu yang tiada habisnya. Semoga kuat ya, masa dewasamu patut diperjuangkan agar lebih cerah.

We are here for you, stay safe and health guys.

Cari Blog Ini