Suatu hari, hiduplah seorang perempuan yang sudah menjadi yatim sejak usia kecilnya.
Ia lahir dalam keluarga yang sangat harmonis (dalam standarnya).
Namun, seperti pada umumnya, tidaklah sebuah keluarga itu sempurna, pasti ada saja 'keunikan karakter' yang menjadi bumbu roller coaster sebuah keluarga.
Tibalah saat usianya dewasa, ia akan melangkah pada jenjang pernikahan.
Selama ini, ia dididik untuk selalu mandiri dan mengetahui segala proses dalam hidupnya.
Meski berat, ia selalu berusaha menerima dengan lapang hati segala bentuk pendidikan keluarganya.
Namun, di hari ini, tangisnya pecah, sungguh tak tertahankan, tak terkatakan, hanya tangisan yang tampil, sambil segala renungan berkelinang di dalam kepalanya, tak sanggup ia mengeluh, pun tak merasa pantas untuk mengadu. Tangisan yang dalam, itu saja yang dapat ia tampilkan. Meskipun tak berdampak apa-apa pada keputusannya.
Tangisan itu dimulai ketika ia mulai berbicara pada kakak laki2 tertua, meminta agar kayaknya menjadi wali di pernikahannya nanti, itu saja, tidak lebih.
Namun, sang kakak tidak menyanggupi permintaan tersebut, ia menolak dan menyarankan untuk diwakilkan pada wali hakim ataupun paman saja.
Sang adik, meyakinkan, bahwa kali ini sang kakak akan mampu menjadi wali, namun sang kakak tetap pada pendiriannya, ia berkata tidak bisa!. Sang adik tak menyerah, meyakinkan kembali, sesekali bercanda mengajaknya berlatih membaca teks akad. Namun, lagi dan lagi sang kakak menolak permintaannya dan memohon maaf akan ketidaksanggupannya.
Sang adik menahan tangis lalu berkata "Ayolah, anggap saja latihan sebelum nanti menikahkan anak perempuanmu"
Dan sang kakak menjawab
"Ya, kalau untuk anak saya, saya pastikan bisa"
Sang adik tak sanggup menahan buliran-buliran air pada matanya yang tertahan.
Pecah..
Untuk pertama kalinya, ia menangis sejadinya di depan kakaknya.
"Saya sudah tidak memiliki ayah, saya hanya ingin Anda jadi wali saya, Anda kakak laki laki tertua saya, wali utama, apa tidak mau berusaha?" Tanyanya penuh gemetar.
"Tidak. Maaf, saya harus jujur, saya tidak bisa, silahkan minta kepada yang lain" jawab sang kakak.
Sang adik pun tak dapat berkata apa-apa lagi, ia hanya bisa menangis, tidak ada lagi bendungan, semua pecah, setelah sekian tahun tertahan.
Dalam pikirannya terngiang banyak hal, ia membiarkan sambil menimang, dan memilah mana rasa yang haus validasi, mana rasa yang hadir dari ego pribadi.
Ia ingin sekali menuliskan kecamuk pikirannya, mari kita dengarkan:
"Kehadiranku emang gak penting sih, selama ini engga ada juga yang prioritasin"
"Aku emang gak layak diperjuangin, emang apa kontribusi aku dihidupnya?"
"Aku kan meminta, kenapa jadi kecewa ketika engga dikabulkan? Harusnya biasa aja, kecuali aku bukan minta, tapi maksa"
"Aku capek yaAllah ngertiin pikiran orang2 yang lebih dewasa dibanding aku, aku pengen juga dong dingertiin"
"Aku cuma minta Anda jadi wali, aku engga minta Dana, aku gak minta apa2, cuma pengen Anda jadi wali, kenapa susah?"
"Kalau untuk anakmu kau berkata bisa, kenapa untuk adik perempuanmu kau katakan tak bisa? Emang gak ada artinya sih, adikmu yang satu ini"
"Emang gak ada niat banget buat berubah, ini adiknya yang terakhir loh! Engga mau mencoba berubah?"
"Aku se -engga ada- itu ya?"
Pikirannya semakin menanyakan hal-hal yang jauh, berkelana, menelisik diri, apa yang sebenarnya terjadi?
Sederhana.
Adik meminta kakak laki2 tertua, untuk menjadi walinya, karena dia percaya kakaknya bisa, meskipun pada kasus2 anak perempuan di keluarganya selalu berakhir diwakilkan.
Sang adik menaruh harap, kakaknya akan berusaha untuk dirinya.
Namun, ternyata sama. Tidak ada itikad untuk hal itu.
Sang adik menyadari, ternyata ia kecewa oleh harapannya sendiri.
Ia belajar, bahwa jika meminta, maka harus siap untuk segala responnya baik diterima ataupun ditolak. Malam itu ia kalah oleh perasaannya sendiri, perasaan yang valid namun tidak menjadi fakta dalam realita.
Perasaan tidak dianggap, itu valid
Perasaan tidak dicintai, itu valid
Perasaan tidak diinginkan, itu valid
Perasaan tidak diperjuangkan, itu valid
Perasaan diabaikan dan dilupakan, itu valid,
Itu yang ia rasakan pada keadaan yang sedang ia alami.
Meski, jika ditilik realitanya, perasaan tadi hanya sekedar perasaan dan prasangka semata , pada realitanya, mungkin saja, kakaknya:
1. Menginginkan yang terbaik untuk adiknya, ia pun mengukur kemampuan dirinya dan ia tidak percaya diri memenuhi permintaan sang adik.
2.