^^

Terimakasih atas kunjungannya^^ Semoga harimu selalu dipenuhi dengan kesenangan dan keberkahan. Sudahkah anda bersyukur untuk hari ini??

Ads Here

Minggu, 06 April 2025

Proses Menerima sebuah Penolakan


Suatu hari, hiduplah seorang perempuan yang sudah menjadi yatim sejak usia kecilnya.
Ia lahir dalam keluarga yang sangat harmonis (dalam standarnya). 

Namun, seperti pada umumnya, tidaklah sebuah keluarga itu sempurna, pasti ada saja 'keunikan karakter' yang menjadi bumbu roller coaster sebuah keluarga. 

Tibalah saat usianya dewasa, ia akan melangkah pada jenjang pernikahan.
Selama ini, ia dididik untuk selalu mandiri dan mengetahui segala proses dalam hidupnya. 
Meski berat, ia selalu berusaha menerima dengan lapang hati segala bentuk pendidikan keluarganya.

Namun, di hari ini, tangisnya pecah, sungguh tak tertahankan, tak terkatakan, hanya tangisan yang tampil, sambil segala renungan berkelinang di dalam kepalanya, tak sanggup ia mengeluh, pun tak merasa pantas untuk mengadu. Tangisan yang dalam, itu saja yang dapat ia tampilkan. Meskipun tak berdampak apa-apa pada keputusannya.

Tangisan itu dimulai ketika ia mulai berbicara pada kakak laki2 tertua, meminta agar kayaknya menjadi wali di pernikahannya nanti, itu saja, tidak lebih. 
Namun, sang kakak tidak menyanggupi permintaan tersebut, ia menolak dan menyarankan untuk diwakilkan pada wali hakim ataupun paman saja. 
Sang adik, meyakinkan, bahwa kali ini sang kakak akan mampu menjadi wali, namun sang kakak tetap pada pendiriannya, ia berkata tidak bisa!. Sang adik tak menyerah, meyakinkan kembali, sesekali bercanda mengajaknya berlatih membaca teks akad. Namun, lagi dan lagi sang kakak menolak permintaannya dan memohon maaf akan ketidaksanggupannya.

Sang adik menahan tangis lalu berkata "Ayolah, anggap saja latihan sebelum nanti menikahkan anak perempuanmu"
Dan sang kakak menjawab 
"Ya, kalau untuk anak saya, saya pastikan bisa"
Sang adik tak sanggup menahan buliran-buliran air pada matanya yang tertahan. 
Pecah..
Untuk pertama kalinya, ia menangis sejadinya di depan kakaknya.
"Saya sudah tidak memiliki ayah, saya hanya ingin Anda jadi wali saya, Anda kakak laki laki tertua saya, wali utama, apa tidak mau berusaha?" Tanyanya penuh gemetar.
"Tidak. Maaf, saya harus jujur, saya tidak bisa, silahkan minta kepada yang lain" jawab sang kakak.
Sang adik pun tak dapat berkata apa-apa lagi, ia hanya bisa menangis, tidak ada lagi bendungan, semua pecah, setelah sekian tahun tertahan.

Dalam pikirannya terngiang banyak hal, ia membiarkan sambil menimang, dan memilah mana rasa yang haus validasi, mana rasa yang hadir dari ego pribadi.

Ia ingin sekali menuliskan kecamuk pikirannya, mari kita dengarkan:
"Kehadiranku emang gak penting sih, selama ini engga ada juga yang prioritasin"
"Aku emang gak layak diperjuangin, emang apa kontribusi aku dihidupnya?"
"Aku kan meminta, kenapa jadi kecewa ketika engga dikabulkan? Harusnya biasa aja, kecuali aku bukan minta, tapi maksa"
"Aku capek yaAllah ngertiin pikiran orang2 yang lebih dewasa dibanding aku, aku pengen juga dong dingertiin"
"Aku cuma minta Anda jadi wali, aku engga minta Dana, aku gak minta apa2, cuma pengen Anda jadi wali, kenapa susah?"
"Kalau untuk anakmu kau berkata bisa, kenapa untuk adik perempuanmu kau katakan tak bisa? Emang gak ada artinya sih, adikmu yang satu ini"
"Emang gak ada niat banget buat berubah, ini adiknya yang terakhir loh! Engga mau mencoba berubah?"
"Aku se -engga ada- itu ya?"

Pikirannya semakin menanyakan hal-hal yang jauh, berkelana, menelisik diri, apa yang sebenarnya terjadi?

Sederhana.

Adik meminta kakak laki2 tertua, untuk menjadi walinya, karena dia percaya kakaknya bisa, meskipun pada kasus2 anak perempuan di keluarganya selalu berakhir diwakilkan. 
Sang adik menaruh harap, kakaknya akan berusaha untuk dirinya. 
Namun, ternyata sama. Tidak ada itikad untuk hal itu. 

Sang adik menyadari, ternyata ia kecewa oleh harapannya sendiri. 
Ia belajar, bahwa jika meminta, maka harus siap untuk segala responnya baik diterima ataupun ditolak. Malam itu ia kalah oleh perasaannya sendiri, perasaan yang valid namun tidak menjadi fakta dalam realita. 
Perasaan tidak dianggap, itu valid
Perasaan tidak dicintai, itu valid
Perasaan tidak diinginkan, itu valid
Perasaan tidak diperjuangkan, itu valid
Perasaan diabaikan dan dilupakan, itu valid,

Itu yang ia rasakan pada keadaan yang sedang ia alami.
Meski, jika ditilik realitanya, perasaan tadi hanya sekedar perasaan dan prasangka semata , pada realitanya, mungkin saja, kakaknya:
1. Menginginkan yang terbaik untuk adiknya, ia pun mengukur kemampuan dirinya dan ia tidak percaya diri memenuhi permintaan sang adik.

2. 





Kamis, 03 April 2025

Sebuah memoriam meredam kemarahan

Dengan tanpa melepas proses intropeksi diri, kutuliskan kritik ini untuk diri kita sebagai WNI juga untuk para pemangku kebijakan yang bertanggung jawab atas hajat rakyatnya.

Dunia hari ini, tidak baik-baik saja, yang mengatakan baik-baik saja, fix buzzer pemerintah, atau kalau cuma ikut2an biar dipandang positive mindset/vibes, sorry bos, Anda salah tempat dan situasi.

Capek banget aku tuh liatin berita2,
Udah kayak mau engga nulis aja, soalnya emang ini akan berdampak apa? Tapi biarlah, tetap kutuliskan biar benang ruwet di kepala ini setidaknya terurai melalui rentetan huruf2nya.

Rasanya mau marah, tapi ya gimana, situasi ini tuh udah bisa kita bayangkan. Udah bisa ketebak banget gitu lo dari jaman pilpres, makannya kita pilih berjuang dengan 01 (iya, penulis anak abah, iya!) bukan membandingkan, tapi orang waras ga mungkin pilih 02 sih, kecuali engga bener2 peduli sama program2 untuk kemajuan negara. Bukan apa2, sesuatu yang dicapai dengan cara yang jujur/Maksain prosedur, hanya akan menambah ketidakjujuran lain di masa mendatang, masak hal kecil kayak gini mesti bohong sih?. 

Jadi, klo sekarang ada kebijakan yg aneh2 ya udah gak aneh, wong dari awal pencalonan juga caranya udah aneh, program2nya aneh2, mamam tuh program utopis. Engga, engga lagi bikin tulisan kritik dengan mencantumkan referensi, engga lagi tulis kritik yang serius, hanya ingin menuliskan kegundahan di kepala yang makin berat kalau hanya dipikir sendirian.

Fyuuuhh ...
Tarik nafas... Buang nafas,
Kita nih dosa apa ya? Ya iya tau dosa kita banyak, banyakkkkkkkk bgt, sampai susah buat lihat, apa ya dosa yang kita perbuat sampai kita dikasih pemimpin yang subhanallah begini. 

Sistem rusak yang lahir di masyarakat yang rusak juga, bagai simbiosis mutualisme dalam menuju kehancuran sebuah entitas negara.

Tobat.. tobat..
Iya! Tobat aja yang bisa kita lakukan, belajar memperbaiki diri, biar doanya bisa melesat, engga tercekat oleh maksiat yang melekat, makannya tobat ih! T.T
Astaghfirullah...

Pada intinya, Salah satu cara yang bisa kita lakukan sebagai warga negara yang baik adalah, berusaha menjadi hambaNya yang bertakwa, agar amanah dalam setiap urusan dari Hal kecil sampai Hal besar. 

Dengan begitu, semoga Allah pandang kita sebagai orang yang pantas dipimpin oleh yang bertakwa, yang takut sama Allah aja, bukan takut sama 'budi' dari para oligarki.

Satu langkah kecil usaha takwamu kepadaNya, mudah-mudahan jadi pijakan kecil untuk menyongsong Indonesia jadi Baldatun Thayyibah wa Rabbun Ghafur. 

Meski jauh mata memandang dari kriteria Baldatun Thayyibah ini, sebagai orang beriman, engga boleh pesimis, harus optimis. Selama shalat Masih boleh ditegakkan, selama itu pula kesempatan kita untuk meminta keselamatan negeri ini kepada Allah masih terbuka sangat luas. 

Pun jangan baper banget kalo liat, kok Allah kasih ke orang2 dzalim kekuasaan di dunia sih? Ya karena kalau kata there Liye, kita mesti inget bahwa "nilai Dunia ini tuh gak lebih berharga dari separuh sayap nyamuk!" Makannya, gampang aja Allah kasih dunia ke siapapun yang Dia kehendaki. Okay, sekian dulu.

Jangan menyerah, Allah tidak pernah tidur!



Cari Blog Ini