Selasa, 16 April 2024

[[menyelami]] Ringkasan buku '5 Tahun Pertama Pernikahan' Fase-fase utama dalam kehidupan pernikahan yang harus diketahui.




Buku ini berisikan catatan dan bait-bait pengalaman dalam mengarungi pernikahan yang belum cukup lama usianya.

Bukan sebagai malaikat, bukan pula sebagai Cinderella dan Pangeran Kuda Putih-nya, bukan pula sebagai pasangan romansa dalam berbagai drama yang terkenal keromantisannya.

Ini hanyalah kisah sepasang suami istri biasa di antara jutaan pasutri di Indonesia lainnya, yang semoga pengalamannya bisa menjadi inspirasi bagi banyak suami istri di negeri ini untuk senantiasa membangun Rumah Tangga Surganya. Semoga bisa menyerap saripati kebaikan yang ada, dan semoga bisa membantu Anda dan pasangan Anda menjalani kehidupan pernikahan yang lebih baik lagi.

Begitulah yang tertulis pada halaman belakang buku ini. Bait-bait dan cerita penuh makna ini dibagi menjadi 5 bagian cerita yang disebut 5 tahap/fase dalam pernikahan. Fase-fase tersebut yaitu:

1. Euforia

Pada tahap ini, kita akan disuguhkan subbab yang berjudul kado pernikahan, Wedding V.S Marriage Preparation, dan subbab yang menurut saya menjadi poin paling penting yaitu: Berlayar Kemana. etiap insan yang menikah, pasti dalam pikirannya berharap dapat bersama selamanya bersama pasangan pilihannya dengan balutan cinta kasih sepenuh hati. Tidak ada orang yang berniat menikah untuk sengaja saling menyakiti dan berharap pernikahannya berumur pendek, kecuali orang yang tidak waras yang melakukannya. Pada tahap ini kita diajak berdiskusi tentang niat awal menikah dan persiapan apa yang dipersiapkan sebelum menuju jenjang pernikahan.

Pada umumnya, di waktu awal menuju pernikahan orang-orang sibuk untuk merencanakan pesta pernikahannya namun lupa merencanakan pernikahannya itu sendiri. Banyak yang sibuk dengan konsep resepsi pernikahannya seperti, gedung, konsumsi, undangan, foto pre-wed, MUA dan sebagainya. Namun lupa mempersiapkan bagaimana membangun pernikahan itu sendiri agar menjadi rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warrahmah.

Bukan berarti pesta pernikahan itu tidak penting, hanya saja yang perlu direnungkan adalah jika untuk mempersiapkan pesta pernikahan saja kita membutuhkan waktu yang lama, terkadang juga menguras pikiran, tenaga dan materi. Namun, sudah seberjuang apa kita mempersiapkan kehidupan setelah pesta pernikahan yang jangka waktunya lebih lama bahkan sepanjang sisa usia kita. Maka, seharusnya kita lebih banyak mempersiapkan diri dengan ilmu dan kemauan untuk belajar agar memiliki knowledge and skill yang baik untuk menghadapi berbagai badai yang akan hadir kedepannya. Pernikahan itu berat, ia bagaikan berlayar mengarungi samudera, bagaikan naik gunung dan istilah lainnya. Resepsi/Pesta pernikahan hanyalah garis start. Jika diibaratkan pernikahan adalah sebuah pertandingan, siapa yang paling berperan dalam menyelesaikan tantangan untuk memenangkan pertandingan tersebut? yakni pemain yang ikut dalam pertandingan. Takkan ada penonton yang akan membantu petanding untuk melewati tantangannya. Semua ditentukan oleh stamina, mental, perbekalan berupa knowledge and skill yang tepat untuk menghadapi tantangan selama pertandingan  berlangsung. Jika pertandingan, jelas tujuannya maka akan jelas pula ilmu apa yang digunakan untuk menghadapi pertandingan tersebut, tidak mungkin kan pertandingan gulat dihadapi dengan ilmu dan skill pemain basket?.

Begitupun dengan sebuah pernikahan, untuk dapat berlayar diatasnya kita perlu memiliki bekal stamina, mental dan bekal untuk menghadapi kehidupan pernikahan kedepannya untuk dapat mencapai tujuan bersama. Meski ilmu dan skill yang kita miliki tidak akan langsung membuat bahagia dalam sebuah pernikahan dan bebas konflik. Namun, tentu akan ada perbedaan respon dan penyikapan jika kita telah memiliki bekal sebelumnya. Pernikahan yang harmonis bukanlah yang tanpa konflik, namun kesadaran akan dua insan untuk saling memperbaiki, saling menuntun dan menjadikan konflik yang datang sebagai perekat yang perlu dihadapi bersama dengan sekuat jiwa raga untuk menjadikan kehidupan pernikahan yang diharapkan.

Mari siapkan bekal kehidupan pernikahan (Marriage) yang jauh lebih panjang daripada sekedar mempersiapkan pesta pernikahan (Wedding).

2. Pain

Tahap kedua yaitu tentang pain. Sebuah pernikahan dibangun oleh dua insan yang memiliki banyak sekali perbedaan, beda pengalaman, beda cara belajar, beda pengasuhan, beda kebiasaan dan segudang perbedaan lainnya. Bayangkan ketika perbedaan-perbedaan tersebut disatukan dalam satu wadah maka potensi konflik yang terjadi sangatlah besar. Kebiasaan buruk kecil kita yang terlihat tidak mengganggu di awal dapat menjadi biang pemicu masalah di masa depan jika diri belum dapat memanajemen konflik dengan baik.

Setiap manusia pasti memiliki luka yang dibawa dari masa lalunya dan tidak semuanya memiliki kesempatan ataupun kemauan untuk menyembuhkan lukanya di kala masih berstatus belum punya pasangan. Akhirnya, ketika menikah terkuaklah semua luka yang selama ini disimpan, ditutup dengan rapi. Tantangannya mampukah kita belajar untuk menerima segala luka yang pernah ada dan saling membasuh luka pasangan?

Mari kita rawat luka diri dan pasangan dengan ilmu yang tepat supaya sembuh dan siap bertumbuh bersama, bukan dirawat untuk tetap bertumbuh. Bersyukurlah ketika datang berbagai hal diluar pikir dan harapan kita, maka disitulah tempat kita bertumbuh untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. Bukankah misi yang tidak pernah selesai selama kita hidup adalah memperbaiki diri? Jangan takut melibatkan ahli jika luka yang dirasa tak lagi dalam jangkauan ilmu diri. Tak apa untuk meminta bantuan demi keselamatan dirimu dan keluargamu. Selamat dan semangat belajar ya.

3. Struggle

Segala perbedaan yang hadir terkadang membuat kita berpikir "Apa sebenarnya aku tidak cocok dengannya?" "Ah.. aku menyesal, sepertinya aku salah pilih pasangan" dan sekelumit keluhan lain yang lahir dari batin yang menjerit karena perasaan dan pikirannnya tidak dapat tersalurkan dengan baik, apalagi jika tidak sama dengan harapannya yang tinggi. Membaca bagian tahap struggle membuat Saya teringat sebuah nasihat begini "Menikah itu seharusnya menjadikan kita mempersiapkan diri untuk melepaskan bukan memiliki" maksudnya apa? Selama ini, kebanyakan dari kita memiliki mindset "Jika aku menikah denganmu, tandanya Aku memilikimu seutuhnya" akhirnya yang terjadi adalah keinginan untuk menuntut pasangan menjadi seperti yang kita inginkan, tanpa memperhatikan keinginan pasangan yang menginginkan kita begitu juga. Kita lupa bahwa seharusnya kita lebih banyak melepaskan, melepaskan ego diri perlahan, juga melepaskan kebebasan yang kita miliki sebelumnya.

Resep sebuah kekecewaan adalah berharap pada sesuatu yang tidak pasti juga perasaan memiliki pada sesuatu yang sebenarnya hanyalah titipan. Maka, untuk menjaga segaala apa yang dititipkan oleh Tuhan pada kita baik dalam bentuk materi maupun non-materi, harus kita jaga dengan sebaik-baiknya kemampuan yang kita miliki tanpa berharap titipan tersebut akan memberikan dampak yang sama dengan cara kita memperlakukannya.

4. Survive

Pada tahap survive kita akan disuguhkan beberapa halaman kosong yang tidak bertuliskan apapun kecuali subjudul dan nomor halaman. Saya kira ada salah cetak, namun ternyata ada maksud ditampilkannya halaman kosong. Ya! Pada tahap survive, terkadang kita tidak dapat mendeskripsikan dan menjelaskan sesuatu dna keadaan dengan  baik. Hanya yang mengalami yang dapat merasakan gejolaknya. Sehingga, masa ini patut kita jadikan masa untuk lebih banyak evaluasi dan introspeksi diri untuk menata ulang, merapihkan kembali juga membangun lagi bangunan rumah tangga yang mungkin telah berkarat, rapuh ataupun perlu ditambal untuk tetap dapat berdiri kokoh dan siap menjadi tempat bernaung kembali setelahnya.

5. Blesss

Pada tahap ini, kita akan diajak berdiskusi lebih dalam tentang tujuan pernikahan yang bukan saja hanya untuk mencapai bahagia di dunia namun bagaimana suka duka perjalanan sebuah pernikahan memapu mengantarkan kita pada sesuatu yang lebih menenangkan dan penuh berkah yaitu "Ridho Allah SWT".  Lelah, keluh, sedih, dan perasaan negatif lain yang hadir jika disikapi dengan baik akan mendatangkan berkah, namun jika disikapi dengan tidak baik, maka dapat menjadis sebuah musibah.

Bersyukur tidaklah mudah dikala banyak rasa negatif yang megumbar dan rasa positif yang menghambar. Namun, tidak salah untuk selalu mencoba bersyukur dalam setiap keadaan.

Jalanilah pernikahan dengan sabar dan syukur. Sabarmu mendekatkan pada pertolongan Allah, dan syukurmu menambah berkah karunia yang tak terkira.

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu (al-Qur’an) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Yuunus: 57).

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. ath-Thalaaq: 2-3).

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya.” (Qs. ath-Thalaaq: 4).

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (Qs. ar-Ra’du: 28).

 

Sekian yang saya dapat revuew dari buku 5 Tahun Pertama Pernikahan, semoga kita saat ini atau kelak dapat menyikapi segala hal dengan bijak dengan ilmu yang telah dipelajari, dan tidak pernah berhenti menuntut ilmu untuk menghadapi kehidupan yang lebih menantang kedepannya.

Semoga bermanfaat!




[[menyelami]] resume buku "Gentle Discipline" Mengajak anak bekerja sama dalam penerapan kedisplinan.



 Banyak orang bertanya apakah dengan sama sekali tidak pernah menghukum anak berarti kita memanjakan anak-anak dan membiarkan anak-anak mengintimidasi kita? Bukankah bila anak tidak dihukum, ia akan menjadi seenaknya, tidak mau patuh dan tidak punya rasa hormat?

Kenyataannya, meski disiplin yang berfokus pada hukuman dan motivasi membuahkan hasil perubahan perilaku yang cepat, namun nyatanya memiliki efek samping jangka panjang. Salah satunya, berefek pada harga diri anak.

Padahal, rendahnya harga diri seringkali menjadi akar dari banyak masalah perilaku anak.

Memahami mengapa dan bagaimana anak-anak berperilaku menjadi awal mula membangun kerja sama dengan anak.
Sehingga orang tua/Guru dan anak-anak menjadi sebuah tim bukan dua musuh yang saling melawan untuk melihat siapa yang bisa "menang".

Gentle Discipline Karya Sarah Ockwell-Smith memberikan wawasan tentang cara mendisiplinkan anak tanpa ancaman dan hukuman.

Ancaman dan hukuman biasanya dipakai dalam pola pengasuhan lama. Pola pengasuhan seperti ini mungkin berdampak cepat pada perubahan perilaku anak, namun ternyata metode ini juga membawa dampak negatif pada perilaku anak yang dapat menyebabkan anak berperilaku lebih buruk lagi.

Dalam buku ini, Sarah akan memandu kita sebagai orang dewasa dalam menghadapi anak-anak melalui cara menjalin kerja sama dengan anak. Menggunakan disiplin dengan cara lembut lebih efektif karena dapat menumbuhkan pola pikir anak yang berkembang (growth mindset).

Dalam buku ini juga diceritakan "Mengapa" suatu perilaku dapat terjadi "Bagaimana" kita melihat dari sudut pandang anak dan "apa" yang dapat kita lakukan untuk menghadapi perilaku tersebut.

Berikut ilustrasi ketika kita menghadapi suatu persoalan pada anak. Misalnya, menghadapi anak yang tidak suka menulis padahal sebentar lagi ia akan memasuki bangku sekolah.

Pada dasarnya, anak-anak menyukai kegiatan menulis baik itu menulis coretan maupun menulis dalam bentuk lainnya. Namun, bila ternyata pada  usia lima tahun anak kita tidak suka menulis, apakah ada alternatif lain supaya anak mau menulis? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita lakukan observasi kecil-kecilan ala Gentle Discipline yang mengantar kita pada tiga pertanyaan pokok, yakni:

Mengapa anak tidak suka menulis?
Bagaimana perasaan anak saat melihat atau berinteraksi dengan kegiatan tulis menulis?
Apa alternatif yang dapat diberikan untuk anak yang tidak suka menulis?.

Mari kita coba menguraikan pencarian jawaban terhadap pertanyaan pertama yaitu, “Mengapa anak tidak suka menulis?” Menurut pengalaman saya, anak tidak suka menulis di antaranya disebabkan oleh beberapa hal diantaranya:

1. Pengalaman Awal yang Tidak Menyenangkan
Ada pepatah mengatakan "Kesan pertama adalah segalanya", begitu pun dengan pembelajaran yang dilakukan oleh anak. Kesan atau perasaan atas pengalaman yang anak rasakan saat pertama kali melakukan sesuatu sangat berpengaruh pada perilaku anak selanjutnya. Ayah dan Bunda, kita perlu memperhatikan cara kita saat mengajak atau membimbing anak menulis. Seringkali, cara mengajak yang tidak menyenangkan di awal kegiatan menulis membuat anak enggan menulis lagi. Dunia anak adalah dunia bermain, jadi ajaklah anak untuk belajar dengan cara bermain yang menyenangkan supaya mereka tertarik melakukannya berulang kali. Misalnya dengan memulai kegiatan pengenalan menulis menggunakan alat tulis berukuran besar dan warna-warni seperti krayon, spidol, dan lain sebagainya. Sesuaikan juga dengan tahapan menulis pada anak. Mulailah dengan menulis apa yang disukai oleh anak. Sesuatu yang dimulai dengan menyenangkan biasanya bikin ketagihan bukan?

2. Belum siap menulis
Kegiatan menulis pada anak biasanya terjadi secara alamiah. Dapat bermula pada apa yang mereka lihat, misalnya melihat Anda yang menulis, mereka akan menirunya sebagai salah satu bentuk bermain atau kepura-puraan. Seperti yang telah dibahas sebelumnya tentang tahapan anak dalam menulis, pada usia lima tahun anak sudah dapat mulai menulis acak dan sudah dapat menulis satu kata, misalnya menulis nama panggilan mereka. Namun, hal tersebut tidak mutlak karena setiap anak memiliki tahapan perkembangan yang berbeda. Oleh karena itu, kita perlu memperhatikan apakah anak sudah siap untuk menulis atau belum. Kesiapan anak untuk menulis dapat dilihat dari kekuatan motorik halusnya. Anak dengan motorik halus yang baik, biasanya ditandai dengan kemampuannya memegang sesuatu dengan seimbang dan kuat. Jika belum siap menulis, disarankan anak melakukan kegiatan yang mampu melatih kekuatan motorik halusnya.

Dua hal di atas merupakan beberapa alasan pokok anak tidak suka menulis. Tentu, masih banyak alasan lain yang dapat menyebabkan anak tidak suka menulis. Namun, hal utama yang perlu diperhatikan adalah kesiapan dan ketertarikan anak dalam melakukan kegiatan menulis.

Selanjutnya, mari kita coba uraikan jawaban “Bagaimana perasaan anak saat melihat atau berinteraksi dengan kegiatan tulis menulis?”. Perasaan anak seringkali menjadi hal yang diabaikan, padahal perasaan anak sangat mempengaruhi perilaku mereka. Oleh karena itu, kita perlu mengenali perasaannya.

Saya akan membawa Anda menyelami perasaan mereka, persiapkan bekal empati untuk memulainya. Pertama, bayangkan Anda sedang memainkan game favorit, kemudian pasangan Anda menyuruh Anda untuk bergegas melakukan pekerjaan lain seperti memberi makan hewan peliharaan ataupun melakukan pekerjaan rumah. Apa yang Anda rasakan? Kesal bukan? Sama halnya dengan anak yang sedang melakukan kegiatan lain. Nah, refleksikan hal tersebut terjadi pada anak-anak. Dunia anak adalah bermain, sekali lagi bermain. Salah satu prinsip bermain adalah fleksibilitas memilih dan menyenangkan. Perasaan anak saat melakukan interaksi dengan kegiatan menulis, sangat memengaruhi persepsi anak. Perasaan yang baik dimulai dengan cara mengajak anak menulis di waktu yang tepat, yakni saat anak tidak sedang sibuk bermain mainan favoritnya. Dapat juga, ajakan kegiatan menulis dibuat selayaknya mengajak bermain. “Ayo main tulis tulis!” “Main corat coret yuk!” misalnya. Jadi, pastikan ajakan menulis bukan kegiatan yang memberatkan anak.

Lalu, “Apa alternatif yang dapat diberikan untuk anak yang tidak suka menulis?” Kegiatan menulis semestinya menjadi kegiatan yang menyenangkan bagi anak. Namun, tidak sedikit pula anak yang tidak menyukai kegiatan tulis-menulis. Ayah dan Bunda tidak perlu khawatir jika anak tidak suka menulis, yang terpenting adalah kita tidak bosan memberikan stimulus kegiatan menulis dengan cara menyenangkan. Kegiatan menulis erat kaitannya dengan perkembangan motorik halus anak. Idealnya, sebelum kita mengarahkan pada kegiatan menulis formal, sebaiknya kita mempersiapkan terlebih dahulu kesanggupan anak untuk menulis.

Perilaku yang didasari oleh kebijakan ilmu, akan menghasilkan respon yang berbeda dan memberikan ruang untuk dapat berpikir sebelum mengambil tindakan yang terbaik. Semoga dengan terus berlatih, akan meningkatkan insting kita untuk dapat memberikan respon terbaik dalam membersamai tumbuh kembang anak, agar mereka menjadi manusia dewasa seutuhnya dan dapat mengekspresikan diri di jalan kebaikan.

Selamat Mencoba!

[[menyelami]] Resume buku 'Rumah Tangga' Membuka mata tentang tujuan sejati sebuah pernikahan

"Pernikahan kita bukanlah pernikahan Cinderella yang langsung berlabel "And they live happily ever after" begitu saja. Pernikahan kita diperjuangkan bersama, meski dengan rasa lelah dan air mata." -Fufu Elmart-

Setiap manusia pasti mendambakan pernikahan bahagia dan membahagiakan. Dicintai pasangan, dimanjakan dengan kasih sayang, disentuh perhatian, tidak ada konflik di dalamnya.

Buku ini akan membawa kita pada realitas pernikahan yang tidak selalu indah, namun penuh perjuangan dan pengorbanan untuk mempertahankan keindahan tersebut. Buku ini akan menjawab pertanyaan seputar kehidupan rumah tangga sebagai berikut:

Mengapa sering bertengkar dengan pasangan?
Mengapa sering muncul perasaan tak dicintai pasangan?
Mengapa ada kebosanan menjalani rumah tangga?
Mengapa tak bisa mendapatkan kenyamanan dari pasangan?
Mengapa terbersit penyesalan memilih pasangan?
Bagaimana membangun pernikahan yang harmonis?

Kehidupan pernikahan memang tak semudah membaca buku; bab pertama konflik, bab kedua penyelesaian, bab ketiga ending. Lembar demi lembar di buku ini  menegaskan bahwa kehidupan pernikahan begitu berharga untuk dijalani prosesnya.

Dalam buku ini kita akan diajak menyelami kembali niat awal untuk menikah, apakah lurus karena Allah SWT atau ada alasan lain baik disadari maupun tak disadari oleh diri kita.
Menikah bukanlah akhir masalah ataupun tanpa konflik, namun menikah merupakan perjalanan bersama saling mengenal dan belajar selamanya.
Pernikahan bahagia bukanlah yang tanpa konflik, namun bagaimana konflik yang hadir dihadapi bersama secara dewasa dan jadi hikmah serta berkah untuk perjalanan berikutnya.

Mempersiapkan pernikahan dimulai dari Cleansing-Nurturing-Designing.

Cleansing adalah membersihkan diri kita dari luka-luka masa lalu yang kemungkinan besar akan terpanggil kembali saat perjalanan rumah tangga, hal ini terjadi karena situasi yang dihadapi mirip dengan situasi-situasi masa dulu, bedanya dulu kita menjadi anak yang melihat perlakuan orang tua namun sekarang kita berperan seperti ayah dan ibu kita yakni pasangan suami-istri. Sehingga, bila belum berdamai dan belum menemukan hikmah dari setiap luka masa lalu, akan sangat mempengaruhi perasaan dan sudut pandang kita terhadap peran kita di rumah tangga. Oleh karena itu, pentingnya memiliki ilmu dan guru dalam hidup supaya setiap langkahnya memiliki pijakan yang kuat. Pada buku ini, pembaca akan diajak untuk mengikuti langkah terapi forgiveness agar dapat berdamai dengan diri dan keadaan yang terjadi. Dijelaskan dengan detail setiap prosesnya, sehingga ketika membacanya serasa sedang dibimbing langsung oleh terapis profesional.

Nurturing adalah merawat relasi kita agar dapat belajar menemukan hikmah dari setiap proses kehidupan baik suka maupun duka. Respon terhadap keberadaan masalah sangat menentukan harmonisnya sebuah pernikahan. Apakah dengan kehadiran masalah tersebut dapat mempererat relasi atau justru membuat relasi menjadi renggang karena tidak ada kemauan dari keduanya untuk saling memahami dan mengerti satu sama lainnya. Proses merawat sangat memerlukan kepiawaian kita dalam mengelola emosi diri. Perawatan yang dipersiapkan bukan hanya merawat secara fisik namun juga jiwa. Bukankah rumah yang indah itu adalah tempat ternyaman bagi jiwa? Apa jadinya rumah mewah namun terasa kosong di jiwa karena penghuninya tidak sepenuh hati hadir dan memberi kententraman dalam rumah. Jika ada yang salah, salinglah menuntun kepada proses yang lebih baik bukan hanya menuntut. Jalinlah koneksi atau keterhubungan emosi sebelum memberikan koreksi terhadap kesalahan. Koneksi dulu, koreksi kemudian.

Designing adalah proses merancang rumah tangga apa yang akan dibangun. Bangunan tanpa rancangan yang jelas hanya akan membawa kita terjun bebas tanpa tujuan akhir yang jelas. Hal pertama yang dilakukan adalah tentukan visi dan tujuan pernikahan, kemudian komunikasikan bersama terkait cara menggapainya. Cara membangun visi pernikahan adalah dengan melihat visi utama manusia di dunia. Sebagai umat Islam, manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah SWT.  Hal ini menjadi acuan ketika membangun rumah tangga yaitu bervisi "Ibadah". Dengan demikian, apapun halang rintang dan tantangan yang akan terjadi di depan, maka InshaAllah akan lebih ringan untuk menghadapinya karena kita punya keyakinan bahwa kesulitan yang kita rasakan, bila dihadapi dengan sabar dan ihklas, InshaAllah berbuah pahala di sisiNya. Begitupun ketika diberi karunia kesenangan maka tak akan terlena namun  penuh syukur menerima dan menjadi api semangat untuk semakin taat padaNya.

Rumah Tangga Surga adalah sebuah rumah yang di dalamnya menjadi surga bagi para penghuninya. Rumah Tangga Surga adalah sebuah rumah, yang menjadi tangga surga, yang mengantarkan penghuninya berkumpul lagi di surga-Nya kelak. 

Belajarlah mencintai diri seutuhnya supaya dapat menerima cinta dari orang lain dan mencintai orang lain. Bila masih merasa diri tak layak dicinta dan berharga, maka perlu muhasabah atau introspeksi diri apakah luka-luka dulu belum diikhlaskan sehingga masih mengganjal dalam pikiran dan perasaan.
Ikhlaskan semua yang ada di masa lalu, bila tidak mampu sendirian, pergilah berkonsultasi pada ahlinya.

Semoga, dalam perjalanan belajar bersama ini, selalu Allah lindungi dan jaga dari rasa yang menjauhkan diri denganNya. Aamiin

Semoga bermanfaat!







 

[[menyelami]] Resume Buku: Seni Berbicara Pada Anak karya Joanna Faber dan Julie King

 


"Kerap kali kita gagal mengomunikasikan sesuatu pada anak, bukan karena informasi yang akan disampaikan begitu rumit, namun karena kita tidak memiliki kapasitas untuk menyederhanakannya agar menjadi mudah dimengerti bagi anak" -ElKa-

Anak-anak selalu menjadi perhatian utama dalam tiap keluarga, karena ia adalah buah cinta dari dua orang insan yang memutuskan hidup bersama membangun sebuah istana yang seharusnya paling indah bernama "Keluarga".

Anak-anak adalah makhluk dinamis, karena ia adalah seorang manusia seutuhnya yang membutuhkan bimbingan dari orang dewasa untuk mencapai kedewasaan baik dalam berpikir maupun bertindak. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, akan selalu datang tantangan baru yang mewarnai tahap tumbuh kembangnya. Tantangan baru ini seharusnya tidak menjadikan diri kita sebagai orang tua menyerah dengan keadaan, namun merespon tantangan baru menjadi sebuah kesempatan emas untuk belajar menjadi pribadi yang lebih baik merupakan langkah awal untuk dapat menikmati setiap proses menjalani peran sebagai orang dewasa yang hadir untuk mendidiknya dengan sepenuh hati.

Pada buku ini kita akan belajar salah satu skill paling penting untuk kehidupan umat manusia yaitu Komunikasi. Komunikasi merupakanomunikasi adalah sebuah proses penyampaian pikiran atau informasi dari seseorang kepada orang lain melalui suatu cara tertentu. Sehingga orang lain mengerti betul apa yang dimaksud oleh penyampai informasi. Pendidikan tentunya tidak akan jauh dari proses komunikasi, sehingga mengharuskan kita sebagai pendidik selalu belajar untuk mengomunikasikan informasi agar tersampaikan dan diterima dengan baik oleh anak didik.

Komunikasi dengan anak merupakan tantangan tersendiri karena anak belum memiliki kematangan dalam berpikir, sehingga orang dewasalah yang seharusnya lebih mengerti dan menyesuaikan diri saat berkomunikasi dengana anak-anak karena orang dewasa dianggap memiliki kematangan berpikir lebih baik dibanding anak-anak.

Poin penting yang disampaikan pada buku ini yaitu peralatan, pengetahuan serta keterampilan tentang cara-cara berkomunikasi khususnya melalui lisan yang disebut "berbicara" berdasarkan teori dan pengalaman sang penulis selama berinteraksi dengan anak dan dunianya. Teori yang disampaikan pada buku ini mungkin tidak selalu relevan dengan keadaan yang kita hadapi, namun setidaknya keterampilan perilaku kita pada anak akan menjadi lebih baik ketika memiliki pengetahuan tentang peralatan dasar yang  harus digunakan untuk dapat berbicara dengan baik dan komunikatif dengan anak.

Adapun peralatan dasarnya yaitu, mengakui perasaan anak, memberi teladan dan informasi dan menegur tanpa menghina harga diri anak. Peralatan lainnya yaitu kesabaran tak berbatas dan keinginan  untuk terus belajar, karena sejatinya manusia adalah seorang pembelajar.

Memang, kita tidak mungkin menjadi orang tua atau pendidik yang sempurna, kita tetaplah menjadi manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan. Namun, kekurangan bukanlah batasan manusia untuk terus belajar memperbaiki diri demi kualitas kehidupan yang lebih baik di masa depan.

Pijakan ilmu dan pengetahun menjadi awal bagi kita untuk mengendalikan diri kita termasuk mengendalikan penyaluran perasaan negatif agar tetap dengan cara yang baik, karena semua perasaan dapat diterima namun sebagian tindakan (red: destruktif) harus dibatasi demi kesehatan dan keamanan bersama. Memulai dari memperbaiki kualitas diri adalah hal terbaik yang dapat dilakukan untuk dapat menjadi contoh di mata anak karena:

"Anak-anakmu mungkin dapat salah memahami apa yang kamu katakan, namun ia tidak pernah gagal dalam meniru segala tindakan yang kamu tampilkan". Maka, jagalah tindakanmu dan berlakulah kamu dengan bijak di setiap waktunya, jika melakukan kesalahan jangan sungkan untuk meminta maaf dan berusaha untuk tidak mengulanginya kembali.

Selamat dan semangat belajar berbicara dengan anak, pakailah hatimu untuk menyentuh hatinya dan gunakan akalmu untuk memberi informasi terbaik baginya. Semoga bermanfaat!


[[menyelami]] Ringkasan Buku "Financial Parenting": Pentingnya Literasi finansial, agar anak tahu perbedaan kebutuhan dan keinginannya dan cara mendapatkannya



 


Cerdas mengelola uang sejak dini? Memangnya penting?

Mengapa ini penting?
Dengan mengajarkan bagaimana pengelolaan keuangan yang bijak, maka kita bukan hanya sekedar mengajarkan anak untuk mengatur uang sakunya tetapi lebih luas lagi tentang kemampuan anak mengambil keputusan atas keuangannya di masa kini dan masa depan. Setuju?

Financial parenting paling mendasar adalah membangun kesadaran dalam diri anak untuk dapat membedakan mana keinginan dan mana kebutuhannya. 

Dalam buku ini, terdapat 7 Bab penting yang membekali para orangtua/pendidik dalam mengarahkan dan membimbing anak dalam keuangannya.

Berikut ringkasan Poin Pentingnya:

Bab 1. Apel Jatuh tidak jauh dari Pohonnya

Pada bab pertama, kita diingatkan kembali tentang prinsip Children See, Children Do.

Apa arti istilah Children See, Children Do?

Yakni segala apa yang dilakukan, perlihatkan ataupun perdengarkan kepada anak melalui perilaku keseharian, maka hal tersebut yang akan dijadikan contoh ataupun dilakukan kembali oleh anak baik di masa kini maupun masa depan sebagai konsep awalnya dalam menyikapi suatu permasalahan.

Jadi, sebelum meminta atau menuntut anak untuk cerdas dalam finansial, baiknya kita evaluasi terlebih dahulu sikap kita terhadap uang (Apakah uang adalah tujuan atau alat dalam kehidupan) dan riwayat keuangan (Apakah kita termasuk yang suka berhutang, menabung atau berinvestasi?).

Setelah 2 hal tersebut dilakukan maka lakukanlah identifikasi Hambatan yang dialami oleh keluarga kita untuk dijadikan bahan perbaikan pengelolaan keuangan kedepannya. Lalu terakhir, membangun jembatan komunikasi dengan cara mengomunikasikan tentang perencanaan keuangan keluarga.

Cara membangun komunikasi keluarga, yakni dengan melibatkan keluarga dalam perencanaan dengan memperhatikan kebutuhan dan keinginan tiap-tiap anggota keluarga.

Dalam akhir bab 1 diberikan insight tentang Prinsip 5T dalam mendidik anak.

Berikut 5T dalam mendidik anak:

1. Time (Waktu)
Qtime sangatlah penting, untuk membangun kedekatan dengan anak dengan cara banyak melakukan hal bersama-sama dengan kehadiran jiwa-raga seutuhnya tanpa distraksi.

2. Telling (Memberi Tahu)
Pada dasarnya anak belum tahu, maka memberi tahu adalah tindakan yang sebaiknya dilakukan agar anak dapat mengerti keinginan dan harapan kita. Jangan pakai kode2 an ya, anak tidak akan paham, ajarilah dengan keterangan yang jelas sesuai dengan kemampuan dan daya tangkap bahasa anak.

3. Teaching (Mengajar)
Bukan hanya memberi tahu tentang nilai-nilai keluarga, tapi juga mengajarkan kepada mereka cara melakukannya dengan benar dengan memberikan teladan yang baik.

4. Training (Melatih)
Anak pada dasarnya mudah ingat, mudah lupa sehingga jangan bosan untuk melatih anak dengan cara-cara yang menyenangkan sesuai dengan usia.

5. Thogetherness (Kebersamaan)
Pengajaran dan pelatihan perlu dinaungi dalam sebuah kebersamaan supaya pembelajaran terasa hangat dan Akrab dengan anak.

Nah, 5T dapat dijadikan bekal untuk mendampingi anak dalam mengatur keuangannya.

BAB 2: Mengapa harus pakai Uang?

Pada bab 2, pembaca akan diajak untuk mendiskusikan tentang bagaimana uang di mata anak dan juga bagaimana membangun persepsi positif pada anak terhadap uang dengan memperhatikan karakter dasar anak laki2 dan perempuan dengan cara membuat tujuan yang SMART (Specific (spesifik), Measurable (terukur), Attainable (dapat dicapai), Realistis (realistik), dan juga Time bound (jangka waktu). Hal tersebut dilakukan, agar anak terbiasa mengambil keputusan yang tepat dengan pertimbangan yang cermat.

Dalam bab 2 ini kita pun diberikan akses lanjutan untuk belajar Cerdas Finansial bersama kak Seto di www.rumahcerdasfinansialkakseto.com

BAB 3: Darimana anak mendapat uang?

Pada Bab 3, Pembaca diajak untuk merefleksikan kembali, apakah kita telah memberikan sejumlah uang yang tepat pada anak?
Menurut buku ini, dikemukakan bahwa anak mendapatkan uang dari 5 sumber yaitu:
Uang jajan, uang Hadiah, uang pinjaman, upah bekerja di rumah, dan juga uang saku.

Coba refleksikan, sudah tepat belum ya dalam memberikan uang saku pada anak?

Kalau dalam buku ini, anak disarankan diberi uang saku dalam jangka waktu tertentu dengan jumlah tertentu untuk mengajarkan anak mengatur keuangannya dengan tanggung jawab.

Nah, boleh saja jika ingin memberi bonus, namun ada yang perlu diperhatikan agar kita tidak salah langkah memberikan bonus kepada anak. Diantaranya:
1. Tingkah laku
Memberi pelukan dan ucapan kasih sayang kepada anak sebagai reward dari tingkah laku anak yang baik sudah cukup sebagai "bonus" berharga bagi anak. Jangan sampai anak mengaitkan tingkah laku baik sebagai bonus kenaikan uang sakunya.

2. Prestasi
Tidak ada balasan yang lebih baik daripada mengatakan kepada anak bahwa Anda bangga atas prestasi yang diraihnya.

3. Tugas Rumah
Mengerjakan tugas rumah adalah kewajiban anak untuk membantu orang tua. Jangan membiasakan anak dengan bonus uang yang membayanginya ketika mengerjakan tugas rumah

BAB 4: Bagaimana mengontrol pengeluaran?

Cara mengontrol pengeluaran dijelaskan dengan cara:
1. Membuat sistem dan peraturan yang jelas

Misalnya dengan metode pembagian amplop kebutuhan dan keinginan, celengan, ataupun software perencanaan keuangan.

2. Buat daftar rencana pengeluaran.
Nah, ajaklah anak untuk mendiskusikan kebutuhan utama yang harus dipenuhi terlebih dahulu, lalu ajarkan anak untuk tidak mudah tergiur oleh iklan yang bertebaran di televisi/media lainnya, dan biasakan anak untuk menyisihkan uangnya untuk berbagi kepada sesama dan selalu disiplin serta bertanggung jawab atas pengeluarannya.

3. Bijak dalam mengeluarkan uang

Berikan pengertian bahwa setiap kita harus bisa mengontrol keinginan untuk dapat memenuhi kebutuhan yang utama.

4. Menyusun Anggaran (Bujeting)

Nah, disini terdapat poin-poin penting Bujeting yaitu pemasukan dan pengeluaran.

Untuk pemasukan sendiri dapat kita usahakan dari 5 sumber pendapatan yg telah dibahas sebelumnya

Nah untuk pengeluaran sendiri, kak Seto memberikan tips sebagai berikut:

Gunakan metode 10/10/10/70

10% Pay your soul first (Beramal)
10% Pay your safe first (Menabung)
10% Pay yourself first (Investasi)

70% Pengeluaran

Jadi intinya, 30% untuk pay your first (kebutuhan yg paling perlu didahulukan beramal, menabung dan investasi)

70% untuk pengeluaran lainnya.

Nah, bagaimana cara kita mengajarkan anak membuat bujet atau perencanaan keuangan?

1. Tentukan waktunya, mingguan/bulanan.

2. Tulis semua uang yang masuk baik uang jajan/hadiah/upah/saku.

3. Buat kategori pengeluaran (metode 10/10/10/70)

4. Kurangi total uang masuk dengan uang keluar. Jika hasilnya negatif, lakukan penyesuaian pengeluaran hingga 0.

Atau jika masih bersisa, maka arahkan untuk menambah di pos Pay your first agar tujuan lebih cepat tercapai.

5. Cek bujet dan perencanaan keuangan, apakah sudah sesuai atau masih perlu penyesuaian.

Wah, klo masih teori bgini agak ribet ya dibayangkan, supaya gak ribet gimana? Ya coba sdikit demi sedikit diaplikasikan. Ya gak?

Pada Bab 5 dibahas tentang perbedaan menabung dan investasi disesuaikan dengan prioritas dan kondisi keluarga , bisa melalui menabung/investasi atau keduanya. Pada intinya, 2 hal ini berkaitan dengan persiapan keuangan untuk kebutuhan jangka panjang dan juga masa depan.

Bab 6: Mempersiapkan biaya kuliah dari sekarang

Nah, seru banget sih di bab ini, agak ngos2an sdikit saat membacanya karena pembaca akan diajak untuk merencanakan dana pendidikan anak hingga perkuliahan juga menghitung perkiraan dana pendidikan anak disesuaikan dengan kenaikan harga dll.

Pada intinya, dana pendidikan yang dipersiapkan sedini mungkin lebih akan terasa ringan dan juga bukan lagi beban di masa depan.

Namun, jangan insecure apabila belum memiliki perencanaan dana pendidikan anak dengan matang. Pepatah mengatakan tidak ada kata terlambat dalam sebuah perencanaan. Mulai dari sekarang, mulai dari yang di mampu, sesuaikan dengan yang dituju. InshaAllah ada jalannya. Cause There is a will, there is a way.

 

Bab 7: Berkarir atau berwirausaha?

Nah, ini bagian cukup penting ya, karena terkadang orang tua memiliki kecenderungan tersendiri pada anaknya.

Ada yang suka bila anaknya berkarir karena gaji dan tunjangan jelas.
Ada juga yang tidak suka jika anaknya berkarir karena akan menghambat eksplorasi dirinya untuk dapat berkarya dan bermanfaat lebih luas lagi di masyarakat.

Ada yang suka dan berharap anaknya menjadi wirausahawan karena anak akan dapat menjadi pemimpin di usahanya sendiri.
Ada juga ortu yang khawatir bila anaknya memilih berwirausaha karena jenjang karir yang tak jelas serta kegagalan yang ada didepan mata.

Well, keduanya dapat disesuaikan dengan nilai-nilai keluarga serta bagaimana bijaknya orang tua dalam mengarahkan agar sesuai antara keinginan, kebutuhan dan harapan dari ortu maupun anak.

Apapun pilihannya, dukungan dari keluarga merupakan support system terbaik yang dibutuhkan anak dalam memilih antara bekerja dengan bijak ataupun berwirausaha dengan bijak pula.

Semoga Bermanfaat!

[[MENYELAMI]] Anak-anak dan Makna Kemerdekaan dari Kacamata Mereka




Bulan Agustus merupakan bulan yang sakral bagi negara Indonesia,

karena terdapat hari bersejarah, yang menjadi gerbang kemerdekaan bangsa Indonesia setelah dijajah lebih dari 3,5 abad lamanya.

Kemeriahan perayaan hari kemerdekaan terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Gotong royong yang merupakan khas warga Indonesia, sangat terlihat ketika bulan Agustus tiba. Warga biasanya gotong royong untuk menghias lingkungan tempat tinggalnya agar lebih meriah dari biasanya.
Mulai dari memasang bendera Merah putih di setiap rumah, menghias jalanan dengan berbagai hiasan, lampu, maupun kreasi lainnya. Kemeriahan tersebut dibuat sebagai bentuk suka cita kemerdekaan bangsa Indonesia.

Tahun 2020 merupakan tahun ke 75 Indonesia merdeka. Tahun yang sama ketika Virus Covid-19 berkembang menjadi sebuah pandemi yang menyebabkan banyak perubahan di segala aspek kehidupan di dunia.

Di Indonesia sendiri, sejak bulan Maret lalu, pemerintah baru mulai melakukan upaya untuk menghentikan atau setidaknya memperlambat penyebaran virus tersebut diantaranya anjuran dirumah saja hingga pembatasan sosial berskala besar.

Hingga bulan Agustus tiba, pandemi belum juga mereda. Perayaan kemerdekaan pun tidak bisa seperti biasanya namun disesuaikan dengan protokol kesehatan Adaptasi Kebiasaan Baru, supaya tidak menjadi cluster baru penyebaran Covid-19.

Di tempat tinggalku, perayaan kemerdekaan tetap dilakukan namun dalam lingkup yang lebih kecil.
Pada tahun-tahun sebelumnya, perayaan dilakukan di tingkat desa dan kecamatan yang melibatkan banyak warga. Namun, di tahun ini hanya tingkat RT masing-masing.

Meski begitu, perayaan tersebut tetap menghadirkan kemeriahan yang diisi dengan senyum, tawa, teriakan dan sorak Sorai penonton maupun peserta lomba. Dari anak-anak hingga orang dewasa.

Saya tertarik memperhatikan bagaimana anak-anak begitu bersemangat menjadi peserta lomba maupun saat melihat temannya ikut berlomba.

Mereka terlihat bahagia saat bisa berlarian bebas di perayaan hari kemerdekaan. Meski sesekali mereka mendapat teguran dari orang tua yang khawatir anak jatuh karena berlarian.

Melihat kebahagiaan tersebut membuat saya penasaran seperti apa kiranya kemerdekaan di mata mereka? Apakah mereka tahu arti merdeka? Apakah yang mereka inginkan dari sebuah kemerdekaan?

Anak-anak merupakan bagian dari masyarakat yang kadang kita nomor sekiankan keberadaannya karena dianggap belum memiliki hak penuh sebagai warga negara.

Sehari setelah kegiatan tersebut, saya melakukan pendekatan kepada anak-anak tetangga dekat rumah dengan cara ikut bermain bersama mereka, setelah berdiskusi dengan anak-anak tentang apa yang akan kita lakukan hari ini ternyata mereka ingin melakukan kegiatan seperti lomba-lomba kemarin. Akhirnya kita bekerjasama untuk melaksanakan ide tersebut. Sekali lagi saya melihat mata mereka berbinar saat bermain bersama kawan-kawan dan itu membuat hati saya bahagia.

Setelah selesai kegiatan, saya pun kembali mengajak anak-anak untuk mengobrol tentang apa yang mereka rasakan setelah bermain. Seperti dugaan, mereka merasa senang bermain perlombaan meskipun tanpa hadiah.

Selanjutnya, saya ajak anak-anak untuk berdiskusi tentang apa sih hari merdeka itu?

Beberapa anak yang telah menginjak kelas 3 SD menjawab "hari merdeka adalah hari Indonesia bebas dari penjajah dan perang" hal ini benar adanya, namun apa arti merdeka bagi anak-anak.

Selanjutnya kuberikan gambaran bahwa merdeka adalah bebas, tenang, dan bertanggung jawab. Kita bisa makan dengan tenang tanpa takut kehabisan itu merdeka, kita bisa bermain dengan bebas itu juga namanya merdeka.

Lalu, aku bertanya kembali pada mereka, merdeka seperti apa yang mereka inginkan saat ini?

Lalu, mereka menjawab mereka ingin merdeka bagi mereka itu bermain dengan bebas tanpa banyak larangan.

Merdeka itu ketika bisa berkeliling, berlarian tanpa ada teriakan dari orang dewasa untuk menyuruhnya berhenti dan diam saja.

Merdeka itu ketika mereka bebas eksplorasi lingkungan tanpa ditakut-takuti bahwa di tempat itu ada ular atau hal berbahaya lain yang belum tentu ada.

Merdeka itu ketika mereka bisa naik-naik gundukan tanah/bebatuan tanpa diteriaki awas jatuh.

Merdeka itu ketika suara mereka didengar oleh orang tuanya tanpa dikata-katai kamu tidak sopan ya menjawab pertanyaan orang tua terus.

Ternyata, merdeka dalam dunia anak-anak itu sederhana, dan sebagai orang dewasa kita memiliki tugas untuk memberikan ruang kemerdekaan tersebut pada anak bukan malah menghalanginya dari jalan kemerdekaan.

Dunia memang kadang tidak aman bagi anak-anak, namun daripada melindungi anak-anak dari kenyataan dengan menakut-nakuti mereka, mengapa tidak kita bekali saja mereka untuk menghadapi dunianya?

Khawatir anak jatuh, maka temani mereka saat bermain. Pastikan lingkungannya aman untuk ruang mereka eksplorasi. Jangan sampai kita menyuruh anak untuk anteng dan diam saja tanpa memberikan mereka ruang untuk bergerak mengekspresikan dirinya di lingkungannya. Bukankah kita juga pernah jadi mereka? Lalu, kenapa saat dewasa kita menjadi egois terhadap mereka?

Sepertinya, memberikan ruang diskusi untuk mendengarkan pikiran dan perasaan anak-anak mnjadi pintu gerbang kemerdekaan jiwa anak agar dapat menyuarakan dirinya dengan baik. Dengan begitu, anak akan memiliki kemerdekaan atas dirinya.

Seringkali kita mendengar bangsa ini belum merdeka sepenuhnya, menurutku salah satu penyebabnya adalah karena sel-sel terkecil dari susunan negara ini belum mendapatkan kemerdekaan diri sepenuhnya.

Untuk seluruh anak-anak Indonesia, dariku: Eksplorasilah lingkunganmu, kenalilah alammu, jangan takut jatuh! Tuhan selalu bersamamu.

Merdeka!

Jumat, 05 April 2024

Saat Dunia begitu Berkilau di Mataku (Series: Griya Apik)


 

Tulisan ini dibuat oleh seseorang yang tengah insecure dengan pencapaian dirinya.

Ia mulai memasuki usia 25, namun hidupnya tak kunjung berjaya.

Melihat temannya, sudah banyak yang menikah bahkan menggendong anak kedua, hamil anak ketiga.

Teman lainnya, berhasil membeli mobil mewah dan rumah bak istana.

Teman lainnya, serasa mudah memiliki hektar tanah dan berbagai ukuran rumah.

BLUKK!!!.... ADUUH!..

Kakinya tersandung batu ketika ia berjalan mengitari gang sempit sambil memikirkan pencapaian temannya.

Rupanya, pikirannya terlalu jauh, hingga ia lupa ada batu yang berada dekat dengan kakinya.

Ia terduduk, mengaduh kesakitan. Aduhai sialnya nasib, bahkan batu saja membuat dia jatuh kali ini.

Sambil mengusap debu dari kakinya, 

datanglah seseorang, sambil menjulurkan tangannya, bertanya "Jatuh tah nduk?" suara beratnya mengisi ruang kosong di udara.

Sang gadis pun mendongak kemudian berkata "Inggih mbah..." 

"Ketok e, memar yo?"

"Inggih mbah, mboten nopo-nopo"

Ia pun mencoba bangkit berdiri dan berjalan, ternyata benar. Kakinya sulit diajak berjalan normal, sehingga ia berjalan sedikit pincang.

"Sungguh, hidup apalah yang kujalani ini? tak ada keberuntungan didalamnya" Gerutunya dalam hati.

Tiba-tiba.. tangan simbah tadi merangkul bahunya dan menuntunnya agar bisa berjalan lebih normal.

"Eh mbah.. ngerepotin"

"Ndak yo, urip iku yo urup nduk.."

"hehe.. iya mbah, maaf saya anak rantau disini, jadi bahasa jawanya hanya bisa sedikit-sedikit"

Simbah tersenyum, kemudian bertanya "Kos dimana?" "Anu.. mbah ini lagi cari-cari"

"pulang kuliah?" "Enggih mbah, barang-barang masih di kos lama, saya sedang cari kosan baru karena sewanya sudah hampir habis" "pas to iki"

"pas gimana mbah?", "Iki lho, mbah saiki dewe'an, anak-anak mbah sudah berkeluarga di luar kota, mbah buka kamar kos di rumah" 

"Wah... bener mbah? dimana mbah?" "niku yo telu uma meneh".

Ia merasakan kakinya berangsur normal mendengar simbah yang ternyata menyewakan kos untuk mahasiswi sepertinya.

Setelah berjalan 30 meter dari tempat jatuh, mata nya terbelalak, melihat rumah yang cukup mewah diantara rumah lainnya. Muka yang tadi semangat, kini sedikit melesu "rumah sebagus ini, biaya sewa nya berapa ya?"

Tertulis di depannya "Kos Griya Apik, khusus putri"

Ia pun sampai di ruang tamu, dan mulai mengobrol hingga sampailah momen dia menanyakan harga sewa kos di Griya Apik.

Simbah tersenyum, "Sewane mung cekap rong juta mangatus nduk sampun air,listrik, gas lan iuran RT"

"niku sebulan mbah?" Simbah menggeleng, "Setaun nduk.."

Matanya berkaca-kaca seperti mendapat sebongkah berlian. Tanpa pikir panjang iapun spontan menjawab "Mau mbah!"


----------------------------------------------------------To be Continued----------------------------